Search This Blog

Saturday, March 10, 2012

MAKALAH DINASTI-DINASTI DI MESIR DAN SYIRIA (AYYUBIYAH DAN MAMLUK)


MAKALAH
DINASTI-DINASTI DI MESIR DAN SYIRIA
(AYYUBIYAH DAN MAMLUK)
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah   : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu : Dra. Ummi Kulsum, M.Hum.


UIN SUNAN KALIJAGA.jpg
 









Oleh:
 Muhammadi

   11120093
  
Kelas : I / SKI / C

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011







BAB I
PENDAHULUAN

           Mesir yang menyimpan peradaban yang tinggi telah terbentuk ketika mengalami berbagai masa keemasan setiap  dinasti. Pada periode kedua dari pemerintahan Abassiyah, Mesir  merupakan wilayah otonom dari Baghdad. Namun karena terjadi perselisihan di pusat pemerintahan Abassiyah, maka daerah otonomnya mendapat hak otonomnya. Hal itu semakin membuat dinasti-dinasti kecil yang ada di mesir menguat dan mencapai kejayaannya. Beberapa dinasti yang masing-masing mengukir peradaban itu adalah : Dinasti Thuluniyah (868-904 M), Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M), Dinasti Fatimiyah (972-1130 M), Dinasti Ayyubiyah (1169-1250 M), dan Dinasti Mamluk (1250-1515 M).
            Dalam perkembangannya tercatat bahwa dinasti di Mesir yang paling berpengaruh akan kejayaan Islam adalah Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk, mengingat bagaimana perjuangan dan keberhasilan dinasti tersebut dalam menghadapi sekutu. Dinasti Ayyubiyah di dirikan oleh Salahudin Al- Ayyubi, kemenangan yang dicapainya dalam mengalahkan tentara pasukan Perang Salib telah membawa namanya dikalangan  mayshur dikalangan bangsa Eropa. Sedangkan Dinasti Mamluk di dirikan oleh Mamluk Aibak, seorang budak yang diangkat menjadi tentara Salahudin. Kemenangannya saat mengalahkan kelompok nasrani yang menyerang Syam dan mengalahkan tentara Mongol, membuat kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Oleh karena itu pembahasan pada kali ini akan terfokus pada dua dinasti tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dinasti Ayyubiyah  (1169-1250 M)
1.      Masa Berdirinya
Pada tahun 1160 M, Dinasti Fatimiyah mulai melemah kesempatan itu digunakan Nurudin raja di negri Syam, untuk mengutus seorang pemimpin militer yang cakap bernama Syirkuh. Dengan komando dari Nurudin, Syirkuh memanfaatkan situasi itu. Setelah mendapatkan beberapa kemenangan militer dan diplomatik yang dicapai di Mesir, Syirkuh mulai menapaki karir politik dengan menerima jabatan mentri di Mesir (1169) di bawah pimpinan al-‘Adid, khalifah Fatimiyah yang terakhir.[1] Namun karena Syawar (mentri sebelum Syirkuh) merasa iri dengan Syirkuh, maka Dia meminta bantuan Almaric saudaranya untuk melawan Syirkuh. Akhirnya Syirkuh meninggal dan di gantikan  keponakannya, Salahudin al-Ayyub.
Dinasti Fatimiyah yang mulai melemah kekuasaanya dan tak sanggup menangkis serangan kaum salib, serta rajanya al’Adid li Dinillah yang telah tua dan sakit-sakitan  membuat Nurudin mengutus Salahudin ke Mesir untuk menduduki Mesir dan tentaranya.[2] Nurudin berkeinginan agar nama kekhalifahan Abassiyah menggantikan kekhalifahan Fatimiyah. Maka dia mengutus Salahudin untuk mengumumkannya ketika khutbah jum’at. Saladin mengadakan musyawarah  bersama tokoh-tokoh lain, akhirnya semua setuju atas penggantian khalifah Fatimiyah.
Salahudin berambisi besar untuk mendapatkan kedaulatan atas kawasan muslim Suriah. Dan itu diwilayah itulah Nurudin berkuasa, sehingga sejak saat itu hubungan keduanya mulai meruncing. Bertepatan dengan wafatnya Nurudin pada tahun 1176 M, Salahudin menyatakan kemerdekaannya di Mesir. Salahudin secara pribadi meminta khalifah Abbasiyah untuk melantikknya sebagai penguasa atas  wilayah Mesir, Maroko, Nubiq, Arab Barat, Palestina, dan Suriah Tengah. Khalifah pun mengabulkan permintaanya, maka di ploklamirkanlah Dinasti Ayyubiyah.

2.      Masa Kejayaan
Pasukan perang yang dikomandokan oleh Salahudin al-Ayyubi telah berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Salahudin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian, kerajaan Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslimim sangat memukul perasaan tentara salib, Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard The Lion Heart raja Inggris, Philip Augustus raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Salahudin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Salahudin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.[3]
Keberhasilan Saladin membawa dirinya menjadi kenamaan di tengah-tengah bangsa Mesir. Pada periode Saladin menjadi penguasa Arab dan The Champion of Islam. Persatuan Mesir, Syiria, Mesopotamia, dan Yaman dengan demikian mencapai konsolidasi sumber-sumber Islam yang tersedia untuk perjuangan yang menentukan melawan orang-orang Salib. Orang-orang Kurdi dan Turkoman juga bergabung dengan pasukan perang  Salahudin, dan pengaruhnya terdapat di Asia Barat.[4]
Pada tahun 1176, Salahudin memimpin serangan ke Mashyad, markas besar Rasyid al-Din Sinan, pemimpin kelompok Hasyasyin yang kemudian menyerah dengan syarat bahwa Salahudin tidak akan menyerang lagi dikemudian hari.[5] Kebijakan-kebijakan Saladin di tujukan untuk pembentukan persatuan negara-negara Arab untuk mengusir tentara Salib.
Kemenangan-kemengan Salahudin membuat cemas Paus, raja-raja dan pemimpin-pemimpin Eropa, yang akhirnya mencetuskan perang Salib ketiga. Perang Suci ini berkesudahan dengan perjanjian Ramleh pada tahun 1192.



Diantara syarat-syarat penting perjanjian perdamaian tersebut itu ialah:
1)      Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci.
2)      Orang-orang Salib akan memperthankan partai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.
3)      Umat Islam akan mengembalikan relics Kristen kepada umat kristen.
Setelah perjanjian perdamaian di Ramleh pada tahun 1192, seluruh daerah merupakan wilayah kekuasaan umat Islam, kecuali jalur sempit pantai dari Tyre sampai ke Jaffa.[6]
3.      Masa Keruntuhan
Selepas kesultanan Salahudin di serahkan pada generasi selanjutnya, dinasti Ayyubiyah mengalami kemunduran yang disebabkan perselisihan yang terjadi diantara para penerusnya. Terlepas dari perselisihan yang terjadi, pada masa kesultanan masing-masing yang juga mengalami kemenangan besar atas peperangan melawan tentara Salib. Hal itu dapat dilihat dari tiap masa kesultanan dinasti Ayyubiyah setelah Salahudin wafat.
Saladin digantikan oleh saudaranya, al-'Adil, dia mewarisi kekuasaan di Karak dan Syaubak. Tapi antara 1196-1199, al-'Adil memanfaatkan perselisihan antara keponakan-keponakannya, mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar Suriah untuk dirinya sendiri. Setelah al-'Adil wafat ia digantikan oleh anaknya al-Kamil, sebelumnya ia bertugas mengusir orang-orang Salib dari Daimeta.
Baybar, Mamluk (budak belian) yang sudah dilatih oleh Sultan Salih memburu pasuka Salib di lorong-lorong kota Mansurah. Ketika para mamluk berjalan menuju Mansurah, Sultan Salih ayyub meninggal dunia pada tahun 1249. Anak tertua dan putera mahkotanya, Turan Syah Berada di benteng Kiva di Diyar Bakr.[7] Dia selanjutnya memegang kesultanan. Turan gagal beradaptasi denganpara mamluk ayahnya, yang berkomplot dengan ibu tirinya. Akhirnya Turan Syah pun dibunuh. Syajar al-Dur memploklamirkana dirinya sebagai ratu negara Islam.[8] Akihrnya juga ia di jatuhkan oleh para bangsawan dan pembesar  istana di Kairo. Ia di jatuhkan karena tidak mendapat dukungan dari Baghdad, selanjutnya kesultanan di pegang oleh Amir Aybek, kemudian ia menikah dengan al-Dur sambil berkuasa di balik tirai.[9]

4.      Peninggalan-peninggalan Dinasti Ayyubiyah
Dinasti Fatimiyah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salahudin, seorang pahlawwan Islam yang terkenal dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Faimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni.[10] Salahudin bukan hanya pejuang dan pahlawan Islam bagi kalangan Sunni.[11] Selain dikenal sebagai panglima perang Salib, Salahudin juga mendorong kemajuan di bidang agama dan pendidikan.[12] Seperti menyokong pengembangan teologi, membangun bendungan, menggali kanal, juga membangun sekolah dan masjid. Diantara bangunan dan monumennya yang masih bertahan hingga sekarang adalah Citadel atau Qal’ah Al-Jabar di Kairo Mesir.[13]

B.       Dinasti Mamluk ( 1250-1515 M )
a.      Masa Berdirinya
Mamluk berarti budak, dinasti mamalik memang didirikan para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik al Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya.[14]
Pondasi kekuasaan Mamluk diletakkan oleh Syajar al-Dur, janda al-Salih dari dinasti Ayyubiyah yang dulunya juga seorang budak. Karna dia keturunan Salahudin yang terakhir, oleh para ulama tidak di tentang karna wanita tidak boleh menjadi raja. Kepemimpinan Syajar al-Dur hanya berlangsung tiga bulan.[15] Ia kemudian menikah dengan seorang tokoh mamalik bernama Aybak dan, menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa dibalik tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajar dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan pemguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan di samping dirinya bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya.[16]
Kaum Mamalik terdiri dari dua kelompok, yakni Mamluk Bahri, yakni pengawal-pengawal yang ditempatkan di pulau kecil Raudah, di banjaran sungai Nil. Mereka kebanyakan dari Turki dan Mongol. Sedangkan Mamluk Burji adalah pengawal-pengawal yang ditempatkan di menara-menara benteng. Mereka kebanyakan berasal dari Sirkasius.

b.      Masa Kejayaan
Sultan pertama Mamluk Bahri adalah Izzudin Aybak. Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257), ia menghabiskan sebagian besar  waktunya dalam peperangan di Suriah, Palestina dan Mesir.[17] Setelah Aybak meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian  mengundurkan diri pada tahun 1259 dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz.[18] 
Pada masa Sultan Qutuz berlangsung, pasukan Mongol telah bergerak menuju Palestina, ia akhirnya mengutus Baybar sebagai panglima perang melawan mereka. Kedua pasukan bertemu di Ain Jalut pada tanggal 13 September 1260 M. Pasukan Baybar berhasil menghancurkan pasukan Tartar yang dipimpin oleh Kitbugha. Kejayaan yang diraih pada masa Baybar adalah memporak-porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di Pegunungan Syiria.
Dinasti Mamluk Burji pada masanya tidak banyak mengalami kemenangan atas musuh. Kemenangan yang pernah dicapai adalah pada masa Sultan Al-Asyraf Baribai, yang mampu mempertahankan wilayahnya dari pasukan Salib di kepulauan Cyprus, dan mampu menahan kekuatan kaum Nasrani. Dinasti Mamalik ini membawa warna baru dalam dunia sejarah  politik islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali pada masa Qalawun bersifat hereditary (turun temurun).
Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan orang Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan. Dalam bidang ilmu pengetauan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol, karena itu ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir. Tokoh-tokohnya mempunyai andil besar dalam perkembangan islam, seperti Ibn Khaldun (sejarah), Abu al-Hasan (kedokteran), al-Razi (psikoterapi), Ibn Taimiyah (tauhid).
    
c.       Masa Keruntuhan
Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang. Dinasti Mamalik sedikit-sedikit mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan Mamluk Burji yang pertama kali dibawa oleh Qalawun. Solidaritas antar sesama militer menurun, terutama ketika Mamluk Burji berkuasa. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya dikalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil.
Di pihak lain, sesuatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamluk, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk di Mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar Kairo tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir dibawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.[19]

d.      Peninggalan-Peninggalan Dinasti Mamluk
Masa Dinasti Mamluk merupakan kemakmuran dan kejayaan di bidang ekonomi dan budaya, disamping seni dan arsitektur yang mempunyai warna sendiri, seperti yang terlihat dalam hasil karya seni yang ada pada keramik dan logam. Sultan-sultan Mamluk sangat tertarik mendirikan masjid-masjid yang sangat besar dengan batu-batu besar. Maka sejak itu industri batu pahatan atau ukiran tumbuh pesat. Gedung-gedung itu dihiasi dengan ornamen atau dekorasi terali. Beberapa contoh masjid itu adalah, Masjid Sultan Hasan dekat benteng Kairo, yang membentuk empat perguruan tinggi mewakili empat madzhab orthodox dalam Islam. Peninggalan dinasti Mamluk antara lain berupa Masjid Rifai, Mausoleum Qalawun dan Masjid Sultan Hasan di Kairo.[20]





BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan
Mesir yang mengalami beberapa kedinastian mencapai masa kejayaanya ketika pada masa Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk. Dinasti Ayyubiyah  berdiri pada tahun 1169 M oleh Salahudin al-Ayubi, yang dulunya panglima perang raja Nurudin. Ia menjulang reputasinya ketika berhasil melawan tentara Salib dan berhasil membebaskan Yerussalem. Pada 2 oktober 1187. Salahudin membagi kekuasaan pada sanak saudaranya sebelum meninggal, mereka masih tetap bersatu sehingga dapat mempertahankan kekuasaan, tetapi perselisihan intern keluargaAyubbiyah setelah al-Kamil meninggal, yang sementara itu masih berlangsung Perang Salib, yang menyebabkan Dinasti ini terpecah.
Dinasti Mamluk berdiri pada tahun 1250 M, oleh  Aybak , namun berjaya pada masa Baybar, yang mampu menghancurkn pasukan Tartar dari Mongol di Ain Jaluk pada tahun 1260. Mereka terbagai menjdi 2 kelompok yaitu mamluk Bahri, yang tinggalnya di laut dan Mamluk Burji, yang tinggalnya di menara benteng. Pasukan Mamluk selanjutnya terus menghalau tentara Salib yang mengdakan ekspensinya ke wilayah Muslim. Dinasti ini runtuh karena faktor internal, dari para sultanya berlaku amoral, dan eksternal, dari serbuan pasukan Usmani.   

DAFTAR PUSAKA

Yatim, Badri. 1995. Sejarah Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press.
Hamka. 1952. Sejarah umat islam II, Jakarta: Bulan Bintang.
Karim, Abdul Muhamed. 2007, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hitti, Philip K. 2006. History Of The Arabs, Terj. Cet 2. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam Dikawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Amin, Samsul Munir. 2009, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzan
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.



[1] Hamka. Sejarah Umat Islam II, hal. 185.
[2] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 824.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 78.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 285.
[5]Philip K. Hittin, History of The Arab, hal. 825.
[6] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 285-287.
[7] Ibid, hal. 293.
[8]Philip K. Hittin, History of The Arab, hal. 836.
[9] M. Abdul Karim, Sejarah dan Peradaban Islam, hal. 284.
[10] Badri Yaim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 283.
[11]Philip K. Hittin, History of The Arab, hal. 832.
[12] Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam, hal. 279.
[13] Ibid, hal. 279.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 124.
[15] Philip K. Hittin, History of The Arabs, hal. 820.
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 125.
[17] Philip K. Hittin, History of The Arabs, hal. 863.
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 125.
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 128.
[20] Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam, hal. 279.

1 comment:

  1. Posting mantaab, terus berkarya Sob, klik juga http://www.matapelajaranski.blogspot.com

    ReplyDelete