Search This Blog

Tuesday, May 21, 2013

Gus Dur Menjawab Kegelisahaan Rakyat




BOOK REVIEW
 Judul Buku     : Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat
Penulis Buku   : KH Abdurrahman Wahid
Penerbit           : Kompas, Jakarta, 2007
Halaman          : 167 Halaman
            Abdurrahman Wahid dilahirkan di Denayar, Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940 dan menjadi Presiden Republik Indonesia periode 1999-2000. Beberapa penghargaan yang diterimanya antara lain Doktor Honoris Causa dari Universitas Jawaharlal Nehru, India; Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University Jepang (2000), “Global Tolerance Award” dari Friends of the United Nations, New York (2003), “World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003), serta Presiden World Headquarters on Non-Violense Peace Movement (2003).
            Buku ini merupakan asli tulisan Gus Dur sendiri dimana beliau menjawab berbagai pertanyaan seputar kegelisahan Rakyat terhadap Negara Indonesia, dimana Sosok beliau yang sangat terbuka terhadap siapa saja yang membutuhkan beliau dan tidak memandang drajad dari kalangan bawah atau dari kalangan atas. Begitulah sosok beliau yang sangat terbuka dengan siapa saja dan buku ini merupakan salah satu jawaban dari Gus Dur untuk rakyat. 
            Didalam Buku ini Gus Dur menjawab kegelisahan rakyat dengan adanya tantangan Zaman serta ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan pada saat ini. Sosok Gus Dur menjawab dengan kritis dan rasional membuat sosok Beliau itu menjadi identitas bahwa Gus Dur adalah sosok figur yang sangat kharisma dan sangat mengayomi terhadap masyarakat.
            Sosok Gus Dur sendiri mempunyai kelebihan dalam bertutur kata. Beliau sangat cerdas, cerdik dan kocak beliau juga hobi menulis. Dalam hasil tulisanya diantaranya buku ini, beliau mengangkat sebuah judul Menjawab Kegelisahan Rakyat dimana beliau mengangkat persoalan-persoalan yang menggerakan perhatian banyak orang karena memang aktual dipermasalahkan dan dirasakan. Dalam tutur katanya beliau mencerminkan sikap dasarnya, seperti Indonesia yang beragama, Indonesia yang kemanusiaan, yang Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia yang Pancasila, Indonesia yang beragama, Indonesia yang berkemanusiaan, yang berkeadilan sosial serta yang demokratis, begitulan sikap beliau terhadap Negara ini.
Beliau merasakan kegelisahan terhadap masyarakat. Pada bagian pertama dalam buku ini membahas tentang Negara Islam Adakah konsepnya? Dari Gus Dur memandang negara ini dengan Agama dan Kekuasaan maka beliau sangat merasa tertarik untuk memberikan komentar tentang hal itu. Dalam bagian ini beliau menjawab tentang konsep Negara islam Pertanyaan pertama sangat menarik untuk diketahui jawabanya, yaitu apakah sebenarnya ada konsep tentang negara Islam ? begitulah sekiranya pertanyaan yang ada dikalangan rakyat kita saat ini. Rakyat tentu bertanya tentang konsep negara islam, karena beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam. Gus Dur menjawab pertanyaan itu Tidak Ada. Beliau beranggapan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syariah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Jawaban dari Gus Dur mengenai tidak adanya konsep Negara Islam karena selama ini beliau mencari tentang konsep itu tidak diketemukanya beliau juga mencari di Negara Islam sendiri tetapi tidak ditemukan mengenai konsep sebuah negara Islam tersebut.
Pada tema yang kedua membahas Islam dalam bentuk perlawanan Disini Gus Dur menilai K.H.A Mutamakin untuk menjadikan sebagai bahan rujukan dan respon terhadap perlawanan islam dan terhadap negara. Dalam agama Islam diperkenalkan pendekatan yang sama sekali lain. Beliau memunculkan paham alternatif atas kelaliman penguasa, namun tidak memberi perlawanan secara terbuka. Pada jawaban ini dirujukan pada masa pemerintahan orde Baru yang kita tahu bahwa pada pemerintahan tersebut di kuasai oleh seorang yng begitu memimpin dengan tangan keras.
Selanjutnya membahas tentang Islam Agama Populer atau Elitis karena di negeri kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme, yang dibawakan agama. Namun ada persamaan antara pandangan elitis anti tradisionalisme. Dengan revitalisai tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukan unsur-unsur rasional dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Disinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih ari 170 juta jiwa.
Pada bagian kedua menjawab tentang Kepemimpinan, dalam bagian ini ada beberapa jawaban tentang bagaimana TNI dan Demokratisasi berbicara mengenai TNI dan Demokratisasi, kita tahu selama lebih dari 30 tahun, TNI pernah berkuasa dinegeri ini. Memandang peran TNI dalam politik amat diperlukanguna kelangsungan hidup bangsa ini. Namun, kenyataanya peran seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur serta hierarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada kepada atasan, tidak kemungkinan TNI berperan demokratis tanpa kehadiran sipil dalam pengendalian keadaan. Karena itu, demokratisasi sendiri harus dilakukan bangsa ini bersama, termasuk ditopang kemauan TNI sebagai institusi.
Kemudian pada pembahasan selanjutnya mengenai PKB, TNI dan Pembelajaran dalam pembicaran ini banyak membahas mengenai Praktik demokratisasi dalam lingkungan PKB dapat ditransformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi dalam lingkungan lebih luas, yaitu dilingkungan bangsa dan negara kita. Bila hal ini terus berlangsung, berarti demokrasi akan hidup dinegeri kita, selama para pemilik negeri ini memberi  suara mayoritas kepada partai politik yang melaksanankan demokratisasi itu.
Selanjutnya membicarakan mengenai Pemilu demokrasi dan kejujuran TNI Selama kebersihan dan kejujuran pelaksanaan pemilu dirasakan masyarakat, dan sengaja ditanyakan kepada rakyat yang menghadiri aneka pertemuan umum, jika mereka menjawab positif berarti kejujuran pemilu dapat dijamin. Persoalanya bagaimana menghindari kecurangan dan manipulasi penghitungan suara. Pencatatan hasil penghitungan suara amat menentukan. Disinilah peran warga TNI, memimpin dan melaksanakan perhitungan suara dengan tepat dan melaporkannya kepada badan yang adil dan dipercaya oleh dunia internasional.
Pada bagian terakhir dimana beliau membahas Moral Dan Spiritual disini beliau menjawab sejumlah pertanyaan tentang Nasionalisme Tasawuf dan Demokrasi didalam negara Indonesia banyak sekali gerakan islam yang berkembang, kemudian Gerakan islam itu pada mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini terlihat antara lain, dalam kenyataan bahwa gerakan Islam telah sampai kepada keberhentian tuntutan negara islam, atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara formal dalam ideologi negara. Perjuangan ini dinegara kita telah berakhir pada kebuntuan yang ditimbulkan oleh berhentinya piagam jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945.
 Keadilan dan Rekonsiliasi pada tema ini membahas mengenai Keadilan dan Rekonsiliasi begitu banyak rahasia yang menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Maka dari sini diperlukanlah kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam persepektif prikemanusiaan, bukannya secara idologis saja, maka sudah tentu akan sangat mudah bagi kita untuk menggangap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian yang beragam. Kebhenikaan atau keragaman justru menunjukan kekayaan kita yang sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Kemudian membahas Identitas Diri di Masa Transisi dalam pembahasan ini Gus Dur memberikan cerita tentang gairah pemilu pada tahun itu sangat rendah sekali, hanya sekitar 10 pesen dari jumlah pemilih yang ada. Hal itu karean para calon pemilih dibuat merasa tidak ada artinya berpemilu kali ini. Tentu saja hal ini berbahaya, tetapi akan lebih berbahaya membiarkan proses demokrasi yang digagalkan oleh KPU, yang melanggar UU No 23/1992 dan UU 4/ 1997.
            Alasan Memilih Buku : pada awalnya saya tertarik dari segi bukunya yang tipis dan menarik dimana ketika saya membaca judul mengenai “Menjawab Kegelisahan Rakyat” saya merasa ini sangat menarik sekali untuk saya kaji dan pelajari isi buku dan kandungan yang tercantum dalam buku ini. Kemudian saya memilih buku ini karena buku ini juga merupakan hasil karya asli tulisan beliau dan rasa ingin tahu saya untuk mengetahui pendapat bagaimana sosok Gus Dur menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat. Disinalah menariknya dari buku ini sosok Gus Dur tidak diragukan lagi bahwa beliau sangat mengayomi terhadap siapa saja tanpa memandang dari kalangan mana mereka berasal serta dari agama apa mereka. Buku tentang Gus Dur selalu menarik untuk dibaca karena sosok beliau yang humoris dan cerdas membuat tertarik untuk dibaca. Kemudian dari segi fisik buku ini sangat mudah dipahami, tipis dan menarik untuk dibaca. Kemudian beliau sangat berkebangsaan, kritis, dan rasional telah menjadi semacam identitas bagi K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tulisan dan kiprahnya di berbagai forum menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Bagi Gus Dur, ajaran agama itu sebagai sumber inspirasi orang beragama dan bernegara. Karena itu, Islam tidak memiliki konsep negara. Tanggapan Beliau soal upaya-upaya mencopotnya dari jabatan presiden. Juga pandangan kritisnya perihal keterlibatan militer dalam proses politik. Buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengenal pemikiran Gus Dur secara mudah dipahami. Mulai dari persoalan hubungan agama dan negara, kepemimpinan, peran militer dalam politik.
            Kelebihan Buku Ini : setelah saya memahami dan membaca buku ini saya melihat sosok Gus Dur yang begitu arif dan bijaksana dalam menjawab dan menjelaskan di setiap pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Kemudian kelebihan lainya diantaranya dalam buku ini mengambarkan bagiamana sosok Gus Dur menjawab kegelisahan rakyat dengan menjelaskan secara gamblang, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan di kaji atas jawaban yang diberikan Gus Dur kepada rakyat yang gelisah dengan negara kita ini. Dengan buku hasil tulisan beliau sendiri sangat menarik sekali untuk kita ketahui hasil pemikiran beliau dan tangapan beliau terhadap negara ini.
            Kelemahan Buku ini : tetapi setelah di baca lebih lanjut ada juga kekurangan yang menurut saya itu sangat membuat saya sedikit tidak tahu mengenai bahasa yang begitu tinggi dan banyak menjadikan jawaban beliau di contohkan terhadap orang lain, dan tidak langsung dari jawaban beliau langsung. Dalam buku ini juga begitu sangat singkat sekali jawaban dari berbagai pertanyaan. Dan buku ini terlalu tipis sehingga memuat sedikit sekali jawaban pertanyaan yang ada. Sedikit mengeritik tentang

BOOK SUMERRY
GUS DUR MENJAWAB KEGELISAHAN RAKYAT
BAB I
AGAMA DAN KEKUASAAN
Pertanyaan pertama sangat menarik untuk diketahui jawabanya, yaitu apakah sebenarnya ada konsep tentang  negara Islam ? begitulah sekiranya pertanyaan yang ada dikalangan rakyat kita saat ini. Rakyat tentu bertanya tentang konsep negara islam, karena beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam. Gus Dur menjawab pertanyaan itu Tidak Ada. Beliau beranggapan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syariah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Jawaban dari Gus Dur mengenai tidak adanya konsep Negara Islam karena slama ini beliau mencari tentang konsep itu tidak diketemukanya beliau juga mencari di Negara Islam sendiri tetapi tidak ditemukan.
Kemudian dasar yang paling utama itu tidak dapat ditemukan jawban yang baku dari dunia islam. Jika kita menilik dari zaman ketika wafatnya Rasulullah yang telah meninggalkan kepemimpinan kemudian disitu ada pergantian dimana yang diangkat Sayyidina Abu Bakar setelah 3 hari wafatnya Rasulullah. Kemmudian ketika Sayyidina Abu Bakar wafat kemudian Umar bin Khatab ditunjuk untuk menggantikan kepemimpinan yang ditingalkanya. Dalam artian ini berarti bahwa telah ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Dengan penunjukan ini tentu sama dengan penunjukan seorang Wakil Presiden di masa moderen ini, yang menyiapkan diri untuk mengisi jabatan itu jika berpindah ketanganya.
Demikian pula besarnya negara yang dikonsepkan menurut islam, juga tidak jelas ukuranya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa da kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Kemudian dimasa Umar bin Khatab, Islam adalah imperium Dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan apakah sebuah negara islam berukuran mendunia., sebuah bangsa aja (wawasan etnis) dengan demikian tidak jelas antara negara-bangsa, negara-kota, atau negara sebagai sebuah bansa atau etnis saja.
Dengan demikian jelas, gagasan Negara jelas, gagasan negara Islam adalalh sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Dan hanya dipikirkan sejumlah orang saja, yang memandang islam dari institusionalnya belaka. 
Pada pertanyaan selanjutnya mengenai Islam Apakah Bentuk Perlawanannya? Disini Gus Dur menilai K.H.A Mutamakin untuk menjadikan sebagai bahan rujukan dan respon terhadap perlawanan islam terhadap negara. Dalam agama Islam diperkenalkan pendekatan yang sama sekali lain. Beliau memunculkan paham alternatif atas kelaliman penguasa, namun tidak memberi perlawanan secara terbuka. Dengan demikian kita lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan membiarkan para ulama sebagai alternatif kultural dihadapan sang penguasa. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokrasi dinegeri kita. Sebagaimana diketahui demokrasi hanyya dapat tegak bila dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara dihadapan undang-undang.
Kemudian ada sebuah pertanyaan tentang Agama Islam itu Agama Populer atau Agama Elitis? Di negeri kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme, yang dibawakan agama. Namun ada persamaan antara pandangan elitis anti tradisionalisme. Dengan revitalisai tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukan unsur-unsur rasional dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelatayang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Disinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih ari 170 juta jiwa. Masalahknya kini bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertabrakan secara praktis.



BAB II
KEPEMIMPINAN
Disini berbicara mengenai TNI dan Demokratisasi, kita tahu selama lebih dari 30 tahun, TNI pernah berkuasa dinegeri ini. Memandang peran TNI dalam politik amat diperlukanguna kelangsungan hidup bangsa ini. Namun, kenyataanya peran seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur serta hierarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada kepada atasan, tidak kemungkinan TNI berperan demokratis tanpa kehadiran sipil dalam pengendalian keadaan. Karena itu, demokratisasi sendiri harus dilakukan bangsa ini bersama, termasuk ditopang kemauan TNI sebagai institusi. Menurut seorang purnawirawan perwir tinggi TNI, ada beberapa doktrin yang dikembangkan TNI yang memerlukan koreksi karena didalamnya ada dominasi kaum militer yang  beranggapan mereka lebih baik daripada pihak sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual karena TNI sendiri sebagai institusi telah menerima dihapusnya Fraksi  TNI-Polri dari DPR tahun 2004 dan dari  MPR tahun 2009 karena mereka harus tunduk kepada UUD 1945, yang tidak membeda-bedakan golongan mana pun, maka dengan sendirinya sebagai institusi mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi. Impian beberapa perwira tinggi TNI untuk berkuasa sendiri tidak perlu dikhawatirkan. Pandangan ini adalah pemikiran ideal yang harus dilihat bagaimana pelaksanaan dalam kenyataannya.
Kemudian PKB, TNI, dan Pembelajaran Demokrasi. Praktik demokratisasi dalam lingkungan PKB dapat ditransformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi dalam lingkungan lebih luas, yaitu dilingkungan bangsa dan negara kita. Bila hal ini terus berlangsung, berarti demokrasi akan hidup dinegeri kita, selama para pemilik negeri ini memberi  suara mayoritas kepada partai politik yang melaksanankan demokratisasi itu.
Hubungan antara PKB dengan TNI karena munculnya TNI selalu bertindak politis. Mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Sekarangpun masih ada yang demikian dalam pemerintahan kita, namun semakin hari semakin tumbuh kekuatan warga TNI ingin mengokohkan staus quo. Mereka yang berjiwa militeristik itulah yang harus kita tantang, bukan seluruh orang-orang miiter.
Dalam negara kita ini banyak hal yang harus dibenahi dalam kehidupan termasuk di kalangan warga TNI sendiri. Akan tetapi, di sisni kita harus membedakan mana yang merupakan hal-hal teknis dan mana yang memerlukan keputusan politis. Keputusan untuk menyertakan warga TNI dalam pemilu, diluar masalah keamanan dan pertahanan, adalah keputusan politik yang harus diambil bersama. Hal-hal politis seperti itu harus diputuskan bersama. Bila tidak, akan membuka “peluang” bagi mereka yang berpikiran militeristik untuk mengembakan stasus quo pemerintahan kita.
Kemudian ada lagi tangapan mengenai Pemilu, Demokrasi dan Kejujuran TNI  dalam pertanyaan ini Gus Dur mengambil jawaban dari artikel “PKB, TNI dan Pembelajaran Demokrasi” dalam artikel ini masih memunculkan berbagai reaksi. Ada yang setuju dan ada yang tidak dengan keadaan yang diperkirakan penulis. Yang mengherankan Justru reaksi yang tidak setuju justru kecil sekali jumlahnya. Penulis menilai, ini menunjukan amat sedikit intelektual dan pengamat yang memiliki atau menerbitkan reaksi tulis atas keadaan yang berkembang saat ini, dan amat sedikit alternatif yang tersedia. Dengan demikian, opsi dari alternatif yang dinyatakan pun menjadi amat sedikit. Dari kebisuaan ini menimbulkan pemikiran, diperlukanya pemerintah alternatif total menjadi lebih besar daripada dulu. Dalam bahasa kasar, alternatif total adalah pengambil alihan kekuasaan pemerintahan oleh mereka yang takut ada revolusi sosial/konflik horizontal (seperti penjarahan massa). Kemudian yang tidak setuju dengan revolusi sosial adalah TNI, para pengusaha keturunan Tionghoa, keturunan India, dan sebagian birokrat. Saat ditanya seorang teman, penulis menjawab, ia pun tidak menyukai pengabil alihan/pemindahan kekuasaan karena sifatnya inkonstitusional.
Tindakan mengambil alih kekuasaan itu harus dibaca sebagai “keadaan terpaksa” sebagai alternatif terbaik dari keadan terburuk (akhafudh al dhararain), yaitu jalan terakhir menyelamatkan demokrasi yang sebenarnya. Karena penundaan pemilu (legislatif maupun presiden) adalah sesuatu yang dapat menggagalkan upaya demokratisasi. Ini sudah  kita rasakan saat terjadi pelengseran kepresidenan tahun 2001 secara tidak konstitusional. Jadi, bila ditilik secara jujur, pengambilalihan kekuasaan saat ini belum tentu merupakan tindakan inkonstitusional melanggar Undang-Undang Dasar. Untuk memperoleh dukungan massa guna menjamin terlaksananya pemilu pada waktunya, diperlukan pendekatan pada salah satu atau lebih partai politik yang ada. Komunikasi terbuka dengan masyarakat pun diperlukan.
Selama kebersihan dan kejujuran pelaksanaan pemilu dirasakan masyarakat, dan sengaja ditanyakan kepada rakyat yang menghadiri aneka pertemuan umum, jika mereka menjawab positif berarti kejujuran pemilu dapat dijamin. Persoalanya bagaimana menghindari kecurangan dan manipulasi penghitungan suara. Pencatatan hasil penghitungan suara amat menentukan. Disinilah peran warga TNI, memimpin dan melaksanakan perhitungan suara dengan tepat dan melaporkannya kepadabadan yang adil dan dipercaya dunia internasional. 


BAB III
MORAL DAN SPIRITUAL
Gus Dur membahas mengenai Nasionalisme, Tasawuf, dan Demokratisasi, disini membahas bagian yang mengupas kaitan antara demokratisasi dan islam disatu pihak, dan antara Kebatinan/Kejawen dan demokratisasi di pihak lain. Kini, yang tampak hanyalah bisingnya masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pergesekan antara demokrasi dan dan islam, yang mungkin ditimbulkan karena kebisingan internal dalam pemikiran internal sendiri.
Gerakan islam itu pada mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini terlihat antara lain, dalam kenyataan bahwa gerakan Islam telah sampai kepada keberhentian tuntutan negara islam, atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara formal dalam ideologi negara. Perjuangan ini dinegara kita telah berakhir pada kebuntuan yang ditimbulkan oleh berhentinya piagam jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian, seluruh gerakan Islam di Indonesia mengacu pada Pancasila sebagai ideologi negara. Namun, dalam kenyataannya, justru upaya menyelaraskan syariat Islam pada pancasila memberikan nafas baru dalam dialog antara Islam dan ideologi tersebut. NU umpamanya, dalam salah satu muktamarnya, setelah tahun 1971 di Surabaya, ternyata merumuskan Islam sebagai moralitas pendidikan dan ajaran agama.
Dengan demikian, NU tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya. Hal ini tenntu tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya. Hal ini, tent saja tidak dapat diterima oleh gerakan gerakan lain dalam Islam di negeri ini. Mereka memiliki pengertian masing masing mengenai hubungan antara Pancasila dan Islam. Diantara mereka bahkan ada pendapat bahwa Islam haruslah terkait dengan politik  dan ideologi. Kalau Islam tidak menyangkut ideologi maka gerakan ini bukanlah gerakan Islam. Ini berarti formalisasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini persoalan utamanya adalah bagaimana membuat Islam memperjuangkan demokrasi dalam rangka pengembangan paham warga negara untuk mengembangkan demokrasi.
Negara haruslah melayani semua pihak, karenanya Islam tidak perlu di formalkan dalam kehidupan bernegara. Cukup apabila para warga negaranya memperjuangkan sumbangan dan peranan Islam secara informal dalam penegmbangan demokrasi. Hal inilah yang dilakukan penulis sebagai ketua umum NU selama hampir dua puluh tahun lamanya. Sebaliknya ada pula pandangan bahwa bIslam harus diformalkan dalam kehidupan bernegara. Ini berarti pancasila haruslah diberi arti formal Islam, hingga ia tidak dapatdibelokan oleh unsur apapun ke arah lain. Tetapi, ini berarti pula bahwa demokrasi dalam artiannya yang murni tidaklah harus dirumuskan. Ia harus mengalah dan menjadi diam manakala berhadapan dengan Hukum Islam. Ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
Menurut pandangan pertama, orang yang mengubah hukum Islam menegenai kemurtadan yang patut dihukum mati. Dalam pandangan pertama ini anggapan formal Islam tentang berpindah agama dari Islam ke gama lain adalah suatu hal yang harus dihormati sesuai dengan deklarasi universal hak hak asasi manusia. Dalam pandanag kedua, justru hukum Islam formal mengenai perpindahan agama ini harus dipertahankan jkalau perlu dengan menolak sebagian dari Deklarasi Universal tersebut. Dalam pandangan kedua ini, Al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam karena ia adalah produk Barat dan tidak berasal dari lingkungan sendiri. Kalau kita konsekuen dengan ke Islaman kita, dalam pandanagan ini maka tidak ada kemungkinan bagi Islam untuk menerima Nasionalisme. Tentu pandangan ekstrim ini tidak mencangkup pandangan pandangan Islam di negeri ini. Karena Islam di negeri ini tidak pernah menolak gerakan nasionalisme. Tetapi setidaknya tentu ada banyak kecurigaan terhada pham tersebut di sementara kalangan atas gerakan gerakan Islam di negeri ini.
Disinilah nantinya terletak peranan tasawuf sebagai jembatan yang menengahi kedua paham Islam dan nasionalisme itu. Ini dalam artian seseorang yang mengubah hukum Islam di atas tentang kemurtadan, tetapi tetap menjadi Muslim melalui sikap tasawuf, dan ini berarti pula peluang berteori tentang hubungan Islam dan nasionalisme dalam kaitan hidup bernegara disamping praktik kehidupan untuk tidak mempersoalkannya. Disinilah sebenarnya terletak pertannyaan kepada gerakan nasionalisme di negeri ini.
Dalam Keadilan dan Rekonsiliasi begitu banyak rahasia yang menyelimuti mesa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Maka darisini diperlukanlah kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam persepektif perikemanusiaan, bukannya secara idologis saja, maka sudah tentu akan sangat udah bagi kita untuk menggangap diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian yang beragam. Kebhenikaan atau keragaman justru menunjukan kekayaan kita yang sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siap atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Hal hal seperti inilah yang masih banyak terjadi atau terdapat di negeri kita selama ini. Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain  yang tidak sepaham dengan kita. Termasuk didalamnya orang-orang mantan narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol) PKI, yang kebanyakan bukan orang yang benar-benar memahami betul ideologi mereka itu.
Gus Dur juga menanggapi bahwa orang-orang mantan PKI itu sekarang sedang mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah mereka lakukan saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak bertentangan dengan undang-undang dasar.
Dari uraian uraian diatas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah rekonsiliasi nasinoal, setelah pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Jadi, pengertian dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan tuntas, oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari. Disinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di BumiNusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, 40-50 tahun yang lalu. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan.
Kemudian membahas Identitas Diri di Masa Transisi dalam pembahasan ini Gus Dur memberikan cerita tentang gairah pemilu pada tahun itu sangat rendah sekali, hanya sekitar 10 pesen dari jumlah pemilih yang ada. Hal itu karean para calon pemilih dibuat merasa tidak ada artinya berpemilu kali ini. Tentu saja hal ini berbahaya, tetapi akan lebih berbahaya membiarkan proses demokrasi yang digagalkan oleh KPU, yang melanggar UU No 23/1992 dan UU 4/ 1997. Bahwa KPU melakukan pelanggaran hukum, sedangkan lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan seluruh pengadilan tidak membela undang-undang. Jadi, memang sudah waktunya sistem politik kita harus diganti. Justru dengan penggantian politik ini untuk menggagalkan sikap pihak-pihak yang, melangar hukum pemelihara status quo yang bergabung di belakang KPU itu harus melalui proses demokraisasi. Kalau di negeri ini masih ada orang yang berani memimpin perjuangan menegagkan demokrasi, maka rakyat banyak akan melihat masih ada harapan paling tidak untuk memelihara kebebasan berbicara dan sebagainya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

No comments:

Post a Comment