Search This Blog

Thursday, January 9, 2014

MAKALAH PENULISAN SEJARAH OLEH SARTONO KARTODIRDJO




MAKALAH
PENULISAN SEJARAH OLEH SARTONO KARTODIRDJO
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Historiografi
Di Ajukan Kepada : Herawati, S.Ag., M.Ag






Oleh :
1.                  Ahmad Khoirudin Sibarani      (11120005)
2.                  Miss Hanan Beuraheng             (11120026)
3.                  Miss Asma Waekaji                    (11120033)
4.                  Wahyu Kurniawan                    (11120019)
5.                  Rizka Kusuma Rahmawati       (11120080)
6.                  Muhamadi                        (11120093)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

  



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Melanjutkan pembahasan minggu kemarin tentang Historiografi Indonesia modern, pada kesempatan kali ini pemakalah menyajikan Penulisan Historiografi Sartono Kartodirdjo yang didalam pemikiran beliau lebih mengedepankan arti pentingya Sejarah Nasional Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ini, beliau sebagai orang Indonesia menginginkan penulisan sejarah haruslah Indonesiasentris jangan hanya terpaku pada bentuk penulisan Nederlansentris semata. Dalam pandangan beliau sejarah juga perlu dikaji dari peran orang-orang kecil yang ada di Indonesia misalnya saja petani, dari para petani inilah yang sejatinya memiliki andil besar dalam sejarah Indonesia, maka dari itu Sartono Kartodirdjo menuliskan karyanya yang sangat dikenal yaitu “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Selanjutnya, pemakalah akan memaparkannya dalam bab pembahasan.

B.     Rumusan Makalah
1.      Bagaimana biografi dari tokoh Sartono Kartodirdjo?
2.      Bagaimana perkembangan Historiografi Indonesia Modern ?
3.      Pendekatan apa yang digunakan Sartono Kartodirdjo dalam menulis buku sejarah Pemberontakan Petani Banten?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Sartono Kartodirdjo
Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo adalah sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi. Sebelum menjadi guru, Sartono  Kartodirdjo menyelesaikan pendidikan di HIS, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia dan HIK. Saat bersekolah di HIK (Sekolah Calon Bruder), Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri, 15 Februari 1912. Saat usianya 44 tahun, Sartono menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setamat dari Universitas Indonesia pada tahun 1957, Kartodirdjo mengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.[1] Setelah lima tahun mengajar di Jurusan tersebut, lalu beliau melanjutkan pendidikan Master Degree di Universitas Yale, Amerika Serikat, sebelumnya ia mengajar di Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan IKIP Bandung. Sartono Kartodirdjo lulus pada tahun 1964 dan melanjutkan pendidikan doktornya dua tahun kemudian.[2] Beliau pernah menjadi Ketua Umum Seminar Sejarah Nasional II pada tahun 1970. Presiden International Conferensi Of International Asosiation For Historians Of Asia (IAHA) Tahun 1971 – 1974. Koordinator Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I 1958. Ikut aktif dalam konferensi – konferensi IAHA di Singapura 1961.[3]
Pada tahun 1968, Sartono dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang ia buat untuk meraih gelar doktornya, dari karya inilah yang akhirnya dinilai banyak orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Ia menganggap bahwa disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosenteris. Dalam disertasinya tersebut ia mencoba mengubah pandangan dengan keberanian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh petani untuk melawan ketidakadilan. Sebagai sejarawan generasi pertama, Sartono telah melahirkan banyak murid yang menjadi benang merah penyambung gagasan-gagasan yang sering ia lontarkan.  
Pada tanggal 7 Desember 2007 Sartono menghembuskan napas terakhir di RS Panti Rapih, Yogyakarta dalam usia 87 tahun. Sepanjang hidupnya, ia tak hanya memberikan contoh dan teladan sebagai sejarawan Indonesia tapi juga memberikan inspirasi dan pemikiran bagi kehidupan bangsa. Dalam sebuah kutipan, Sartono mengungkapkan bahwa ilmu sejarah bukan sekedar narasi. Tidak hanya kisah-kisah serba menyenangkan. Karena itu pendekatannya jangan selalu dari ilmu sejarah, tetapi harus memanfaatkan bantuan ilmu antropologi, sosiologi, serta disiplin ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, karena menulis sejarah Indonesia, maka cara pendekatannya memang harus Indonesiasentris dan jangan sampai terpesona dengan aneka ragam kisah raja-raja atau orang besar. Sebab rakyat, petani, dan wong cilik juga punya peran sangat bermakna yang juga ikut membentuk sejarah.[4]

B.     Perkembangan Historiografi Indonesia Modern
Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia, banyak ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri, walaupun tidak sedikit karya-karya sejarah ditulis oleh orang yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Dalam hal ini Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasi penulisan sejarah di Indonesia menjadi 3 jenis (Taufik Abdullah, 1985 : 27-29). Pertama jenis “sejarah ideologis”, yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan masa lampau, tetapi demi lambang yang bisa diadakannya untuk masa kini. Contoh penulisan sejarah dalam jenis pertama ini seperti Mohammad Yamin mengenai sejarah kuno Indonesia, Ruslan Abdul Gani mengenai sejarah pergerakan nasional dan Nugroho Notosusanto mengenai sejarah militer Indonesia.
Jenis kedua yaitu “Sejarah Pewarisan”. Ciri utama penulisannya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya semacam ini adalah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang hambatan-hambatan serta menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Contoh penulisan seperti ini ialah buku “Sekitar Perang Kemerdekaan” (11 jilid), yang ditulis oleh Abdul Haris Nasution (Jenderal Purnawirawan).
Jenis ketiga adalah “Sejarah Akademik”. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural, cenderung “holistik”. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Contoh penulisan sejarah semacam ini adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang “Pemberontakan Petani Banten 1888”, Soemarsaid Moertono tentang “Negara dan Pemerintahan masa Jawa Lama (1968)”, Harsya Bachtiar mengenai “Nation Indonesia”, Deliar Noer mengenai “Gerakan Modernisme Islam di Indonesia (1973)” dan disertasi Alfian mengenai “Muhammadiyah di Masa Penjajahan (1970)”.[5]

C.    Pemberontakan Petani Banten dan Pendekatan Metodelogi
Berbicara tentang dinamika rakyat pedesaan rasanya secara langsung melancarkan kontradiksi terhadap presepsi stereotipik orang desa yang serba statis, pasif, fatalistis, pendeknya sudah dikuasai oleh sindrom kemiskinan.[6] Pandangan orang – orang kolonial Belanda pada masa penjajahan menggambarkan bahwa orang Jawa identik dengan malas. Hasil penulisan sejarah pada golongan petani menjelaskan bahwa permusuhan yang sering terjadi antara golongan petani dengan pemerintah kolonial yaitu adanya permusuhan. Salah satu sikap yang ditunjukkan dalam karya Pak Sartono Kartodirdjo yaitu tatkala sikap bermusuhan semacam itu ditunjukkan oleh golongan non – priyayi yang menakut – nakuti anak perempuannya yang tidak taat kepada orang tua untuk dikawinkan dengan “priyayi”.[7]
Penulisan historiografi pada abad ke 20 mempunyai peran sangat penting. Dalam hal ini sebuah peristiwa sejarah yang sangat erat dan tidak bisa terlepas yaitu sejarah pemberontakan petani Banten. Sebuah karya sejarah yang dituliskan oleh Sejarawan Indonesia dengan kemampuan yang luar biasa mampu menggunakan beberapa pendekatan dalam menuliskan sejarah Banten.
Pembahasan tahun 1888 di daerah Banten ialah bagian terbesar dari pemberontakan petani, hal itu bersifat lokal dan tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Petani-petani itu tidak tahu untuk apa mereka berontak secara samar-samar mereka ingin menggulingkan pemerintah, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu gerakan sosial yang revolusioner.
Arti penting jenis pemberontakan ini tidak pertama-tama karena dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak dalam fakta bahwa kejadiannya yang endemik selama abad XIX dapat dipandang sebagai suatu manifestasi dari alur perkembangan politik. Di dalam rangka kontak antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Indonesia, pemberontakan-pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan-gerakan protes terhadap masuknya perekonomian barat yang tidak diinginkan dan terhadap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional. Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upahan dan ditegakannya administrasi pusat , maka terjadilah keruntuhan keseluruhan struktur ekonomi dan politik yang tradisional.
Istilah “Pemberontakan petani” (Peasant Revolth) istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata, sepanjang sejarah pemberontakan petani pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa, mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan desa yang terhormat (golongan elit pedesaan).
Dalam buku karya beliau “Pemberontakan Petani Banten” disinggung pendekatan yang digunakan oleh penulis. Menurutnya pendekatan bisa dilakukan melalui berbagai jalur metodologi atau perspektif teoretis dan yang terpenting adalah jalan satu perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa situasi yang kompleks itu juga dapat ditinjau dari segi insiden-insiden dan urutan-urutan insiden yang menentukan hubungan sebab-akibat diantara faktor-faktor variable, apakah itu ekonomis, sosial, politik atau keagamaan.
Dalam hubungan ini pendekatan, pendekatan lain dapat ditambahkan kepada pendekatan historis, disiplin-disiplin lain seperti sosiologi, antropologi sosial, dan ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik untuk menganalisa gerakan-gerakan sosial. [8] Satu-satunya pokok persoalan yang jelas-jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan sosiologi adalah gerakan sosial. Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan peristiwa-peristiwa politik disatu pihak dan pola-pola kultural dipihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis.
Didalam studi ini digunakan pendekatan faktor sebagai pelengkap analisa proses yang membedakan tahap-tahap perkembangan menurut urutannya. Metodologi ini didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang suatu gerakan sosial seperti gerakan dari perspektif waktu dan perkembangan, sebelum diadakan perbandingan sistematik atau analisa teoretis, analisa terakhir bertujuan untuk menyoroti konfigurasi-konfigurasi dan memperbesar dimensi-dimensi gerakan. Dalam sejarah pemberontakan ini, didapat rangkuman masalah sebagai berikut :
1.      Penulis mencoba menunjukkan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan sosial dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan sosial yang tajam dalam masyarakat Banten dapat dijelaskan dari segi posisi sosio-ekonomis golongan-golongan yang saling bertentangan. Dampak kebudayaan barat telah mempertajam konflik sosial itu.
2.      Korelasi antara penetrasi sistem ekonomi barat dan ketidakstabilan situasi sosial yang cenderung untuk meletus dan menyebabkan terjadinya pemberontakan.
3.      Dampak umum kekuasaan formal Belanda terhadap sistem politik di Banten.
Dalam studi mengenai konflik sosial sebagai salah satu aspek utama gerakan sosial, kita harus memberikan perhatian kepada peranan menentukan yang dimainkan oleh elit agama, karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan, seperti juga kaum petani, dan menentang modernisasi serta berusaha mencegah perubahan sosial di Banten. Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai tradisional.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan historiografi Indonesia dengan beberapa tokoh terkemuka di Nasional salah satunya ialah Sartono Kartodirdjo menempati posisi yang tidak dapat dikesampingkan. Perjalanan kehidupannya serta pengalaman dalam pendidikannya mampu membuat Sartono Kartodirdjo menjadi tokoh Nasional Sejarah. Bidang historiografi modern Indonesia menjadi salah satu usaha beliau menjadikan historiografi Indonesia menjauhi Netherlandsentris untuk memfokuskan pada Indonesiasentris. Peristiwa sejarah dengan mengangkat petani sebagai pelaku sejarah mampu dituliskan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya dengan penjelasan latar belakang munculnya pemberontakan, serta penyajiannya dalam kronologi yang dilakukan para petani. Kolonialisme Belanda menjadi musuh para petani dalam kasus pemberontakan di Banten. Akan tetapi Sartono memandang bahwa suatu gerakan keagamaan yang erat dengan gerakan sosial mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas – kelas sosial, dengan kondisi – kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku bagi mereka. Kemampuan beliau dalam melakukan penulisan sejarah menjadikan ia sebagai tokoh historiografi dengan multidimensi dalam pendekatan yang ia lakukan. Tidak hanya pendekatan historis saja melainkan pendekatan Sosiologi, Antropologi, Agama, dan lain sebagainya mampu dilakukan.








Daftar Pustaka

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 8, 1990, Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka

Dalam http://profil.merdeka.com/indonesia/s/sartono-kartodirdjo/.  Di akses 29 November 2013, pukul 08:54 WIB.
Dalam http://historiawildan.blogspot.com/. Di akses 29 November 2013, pukul 09.05 WIB
Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia.
Sartono Kartodirdjo, 1994, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah,Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta : Pustaka Jaya.


[1] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 8, (Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hlm. 197.
[2] Ibid., hlm. 198
[3] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, hal 275
[6] Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah, hlm. 148.
[7] Ibid., hlm. 149.
[8]Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984) hlm.  25.

Makalah Darul Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Setelah Negara kita Republik Indonesia merdeka selama 68 tahun, berbagai peristiwa telah terjadi dan tidak sedikit peristiwa yang menjadi ancaman bagi Negara Indonesia ini. Salah satu peristiwa penting yang membekas dalam sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau bisa disebut Darul Islam yang berdiri pada awal kemerdekaan Indonesia.
Dan sosok dibalik berdirinya Darul Islam ini adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dia adalah seorang tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari Darul Islam, dia mendirikan  Darul Islam tujuannya untuk membuat Negara baru di wilayah Republik Indonesia ini dengan berlandaskan Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Latar Belakang berdirinya Darul Islam ?
2.      Bagaimana Peranan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada Darul Islam ?
3.      Bagaimana Perkembangan Politik Darul Islam di Indonesia ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Latar Belakang Berdirinya Darul Islam
Darul Islam sendiri berdiri pada tanggal 7 Agustus 1949, dan pendiri gerakan itu adalah Kartosuwirjo seorang Nasionalisme  Islam yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dengan tujuan suatu saat nanti gerakan ini akan mencakup semua wilayah Indonesia. Kemudian muncul gerakan-gerakan yang sama di beberapa wilayah di Indonesia yang selanjutnya menggabungkan diri dengan gerakan Kartosuwirjo, wilayah-wilayah tersebut antara lain Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Aceh.
Hancurnya struktur lama menjadi faktor penting terbentukknya Darul Islam, pada bulan Agustus 1945, ketika Kartosuwirjo berada di Jakarta, Jepang sedang melucuti gerakan PETA, dan membubarkan kesatuan ini, karena mereka diwajibkan mempertahankan statusquo hingga tentara sekutu tiba. Awal bulan Oktober Kartosuwir2 menghadiri pertemuan anggota-anggota Masjumi di Surabaya, dihadiri juga oleh Wahid Hasyim dan Moh Natsir. Dalam pertemuan itmembicarakan tentang rencana pengubahan Masjumi sebagai partai politik, atas kespakatan bersama akhirnya Masjumi berubah menjadi partai politik yang banyak pengiutnya, organisasi Muhammadiyah dan NU juga bergabung di dalamnya. Hasyim shari sebagai ketua umum Masjumi, Ki Bagus Hadikusm menjadi ketua, Wid Hasyim menjadi wakil ketua dan Kartosuwirja sendiri menjadi sekertaris dewan eksktif Masjumi.[1]
Pada pertemuan yang pertama di Yogyakarta menghasilkan beberapa keputusan, dibentuknya lagi lasykar islam selain Hizbullah yaitu Sabilillah yang anggotanya lebih tua, selain itu terciptanya tujuan dari Masjumi yaitu untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasarkan ajaran agama Islam. Tak lama setelah PETA, HEIHO, Seinendan di bubarkan oleh Jepang, pemimpin organisasi terebut membentuk BKR (badan keamana  rakyat), dengan demikian terdapat 18 lasykar di daerah Bandung, untuk mencapai koordinasi yang lebih baik lasykar-lasykar tersebut membentuk MDPP (Markas Daerah Pertahanan Priangan), Hizbullah dan Sabililah menjadi anggota MDPP dibawah pimpinan Zinal Abidn. Pada Maret 1943 terjadi tragedi yang dikenal sebagai “Bandung lautan api”, karena adanya ultimatum dari inggris untuk menjalankan taktik membumi hanguskan daerah ini. Pada Maret di tahun yang sama di adakan pertemuan di Malang guna memastikan apakan perjanjian Lingardjati disetujui atau tidak, tanpa kompromi, Kartosuwirjo menolak perjanjian tersebut. Dalam sejarahnya Kartosuwirjo dilukiskan sebagai pribadi yang intletualitasnya tinggi namun beliau tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya, konon katanya beliau selalu dikelilngi oleh orang-orang yang mengejar kedudukan. Pada 1947 kondisi politik umat Islam sangat memprihatinkan, Islam benar-benar mendapatkan tekanan, karena semua kekuatan militer secara keseluruhan berada di tangan PKI dan kaum sosialis. Selain itu Hizbullah dan Sabililah tidak mendapatkan pendidikan mliter, maka dikhawatirkan TNI akan merampas senjata mereka.[2] Sementara itu pada 21 Juni 1947 Belanda melanggar perjanjian Lingardjati, dimana Belanda mengakui Pemerintah RI di jawa, Sumatera dan Madura secara defacto.

B.     Peranan Kartosuwirjo terhadap Darul Islam
Sekarmadji dilahirkan di Cepu, sebuah daerah kecil antara Blora dan Bojonegoro, pada tanggal 17 Februari 1905, status ayahnya yang termasuk bangsawan (ningrat) dikalangan kraton Solo, SM. Kartosuwiryo sebuah nama gabungan dari namanya sendiri, ayah dan kakeknya. Nama aslinya adalah Sekarmadji, ayahnya Maridjan dan kakeknya Karto Suwiryo. Ayahnya seorang pegawai kraton dari kesultanan Solo. Seorang yang paham sejarah, pekerjaannya sebagai petugas pemeliharaan barang-barang sejarah termasuk buku-buku sejarah yang ditulis oleh orang-orang zaman dahulu. Dan memang masih ada hubungan darah kesultanan, baik dengan kesultanan Solo maupun Demak.
Kartosuwirjo merupakan seorang yang intelektualnya tinggi, dalam hal ini ia adalah pelopor sekaligus pendiri Darul Islam dibeberapa wilayah di Negara Indonesia. Sisi positif dari peranan Kartosuwirjo terhadap Darul Islam yaitu ketika ia memperjuangkan Negara Indonesia dari pihak PKI dan kaum Sosialis serta ikut mempertahankan kota Bandung pada peristiwa Bandung Lautan Api, selain itu dia juga  tidak setuju dengan perjanjian Linggardjati yang ibentuk oleh Belanda dalam perjanjian Linggardjati ini hanya untuk keuntungan Belanda saja. Pemikiran Islam memiliki kesiapan psikologis yang besar dan alami, untukmengambil dan menggunakan apa saja warisan kemanusiaan yang baik dan bermanfaat  serta tidak mempertanyakan darimana hikmah itu datang.[3]
Sementara itu dari segi negatifnya Kartosuwirjo memberi pengaruh negatif yang besar bagi Negara Indonesia yaitu: Adanya Darul Islam memaksa rakyat Indonesia mengikuti aturan yang ia bentuk, sementara itu penduduk Indonesia yang notabennya multikultural dan bukan hanya agama Islam yang ada di Indonesia. Bagi yang non Islam mereka tidak menyetujui aturan yang dibuat oleh Kartosuwirjo. Dari hal ini terlihat bahwa Krtosuwirjo ingin menjadikan Negara Indonsia seperti yang ia inginkan, menurut pandangannya Indonesia cukup baik apabila menjadi Darul Islam (NII).
C.     Perkembangan Politik Darul Islam di Indonesia
DI (Darul Islam) pada hakekatnya adalah persoalan yang ditimbulkan oleh golongan extrim Islam yang akan mendirikan Negara Islam Indonesia yang merdeka dengan agama Islam sebagai dasarnya. Pusat DI di Jawa Barat dipimpin oleh. Kartosuwiryo. Kemudian pengaruhnya meluas ke luar daerah yaitu Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Gerakan tersebut sesungguhnya telah dimulai pada tahun 1946. Akibat perjanjian Renville, pasukan TNI harus meninggalkan kantong‑kantong gerilya kemudian melaksanakan hijrah. Keputusan tersebut ditolak oleh Kartosuwiryo, karena politik yang demikian dianggap merugikan perjuangan. Oleh karena itu pasukan Hizbullah dan Sabilillah tidak diizinkan meninggalkan Jawa Barat. Setelah pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, Kartosuwiryo lebih leluasa melaksanakan rencananya. Pada bulan Maret 1948 pasukan‑pasukan itu membentuk gerakan dengan nama Darul Islam (DI) dan tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan Tentara Islam Indonesia (TII). Hukum yang berlaku di negara Islam itu ialah hukum Islam. Hal ini jelas bahwa NII tidak mengakui UUD 1945 dan Pancasila.
DI/TII itu kemudian memusuhi pasukan TNI dengan mengadakan pengadangan dan menyerang pasukan TNI yang sedang dalam perjalanan kembali ke Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dengan segala cara menyebarkan pengaruh‑nya ke Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah di pimpin Amir Fatah. Daerah operasinya di daerah Pekalongan Tegal dan Brebes dimana daerah tersebut mayoritas pendudukanya beragama Islam yang fanatik



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa, Berawal dari institut suffah pada 1940 Didirikan pada 7 Agustus 1949 NII bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi, yaitu Islam dan menjadikan syari’at Islam sebagai undang-undangnya. NII didukung oleh Hizbullah dan Sabilillah.Darul Islam pada hakekatnya merupakan sebuah permasalahan yang muncul akibat golongan extrim islam yang ada di negara ini. Latar belakang tokoh SMK sendiri Dilahirkan di Cepu 7 Januari 1905. Sekolah di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School ) atau Sekolah Kedokteran Belanda. Sempat belajar komunisme dari Marko Kartodikromo sehingga dia dikeluarkan dari NIAS. Belajar Islam pada HOS. Cokroaminoto. Aktif di JIB, PSI, PSII & kemudian mendirikan NII.
DI muncul karena kekecewaan sebagian umat Islam terhadap Indonesia. ketika Indonesia vakum dari kekuasaan perjanjian Renville. Misi yang dibentuk oleh Kartosuwirjo pada dasarnya baik  khususnya bagi umat islam itu sendiri, ingin membentuk negara islam, namun cara yang ia lakukan itu kurang tepat, mengingat bukan hanya agama islam saja yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia. Tak hanya itu saja terlalu banyak kekerasan yang dilakukan oleh DI untuk membentuk negara Indonesia sebagai negara Islam.


.


DAFTAR PUSTAKA

Holk H. Dengel, Darul Islam dan KartoSuwirjo. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Muhammad Nur, 2011. Negara Islam Indonesia Yes Negara Islam Indonesia No. Yogyakarta:SUKA-Pers UIN Sunan Kalijaga.
Ncc, Sejarah Berdirinya NII. blogspot.com. Jumat, 04 Pebruari 2013 22:39. Diakses pada 10 Januari 2014 pukul 07.48 WIB.



[1] Holk H. Dengel,Darul Islam dan KartoSuwirjo.(Jakarta : Pustaka Sinar Harapan),hlm.91.
[2] Muhammad  Nur, Negara Islam Indonesia Yes Negara Islam Indonesia No. (Yogyakarta: SUKA-Pers UIN Sunan Kalijaga). hlm 52.