Search This Blog

Monday, March 19, 2012

MAKALAH FIQH USHUL FIQIH


MAKALAH
SUMBER DAN METODE HUKUM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Di Asia Tenggara Semester 2
Di Ajukan Kepada : Dr. Ali Sodiqin

Description: E:\ENTER\logo kampus\logouin.png






Oleh :
Ahmad Aris Faizin
11120066
Muhammad Adi Saputro
11120053
Muhamadi
11120093




JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari hukum syariat Allah SWT baik itu hubungan kita kepada-Nya (ubudiyyah) maupun hubungan kita kepada sesama manusia (amaliyyah). Metode hukum islam bersumberkan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits atau As-sunnah kemudian para sahabat berijtihad setelah meninggalnya Rasulullah SAW, para tabi’in dan sesudahnya beristimbat dan menghasilkan perbedaan hasil ijtihad karena di sebabkan oleh pemahaman akan maksud syari’at dan tingkat keilmuan serta keadaan pada zamannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN SUMBER DAN MOTODE HUKUM ISLAM
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqih dan ushul fiqih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. 
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan untuk menemukan hukum’. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).[1]
Sumber adalah wadah yang darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian usul fiqh dikenal istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya rujukan utama dalam menetapkan hukum syara’. Kata dalil berarti petunjuk yang membawa seseorang menemukan sesuatu. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan berfikir yang benar guna memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Menurut artian ini, maka kata dalil lebih tepat tersebut dengan metode.
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh metode penemuan hukum dipakai dengan istilah “istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[2] Metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum
Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil
Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.
            Dalam kitab ushul fiqh, seringkali ditemukan penggunaan kata masadir atau dalil yang mencakup sumber sekaligus dalil. Di sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber hukum menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Dalil munsyi’: atau dalil pokok yang keberadaanya tidak memerlukan dalil lain. Termasuk kategori ini adalah Al-Qur’an dan Hadist. Pengertian ini lebih merujuk kepada arti masadir atau sumber hukum.
2.      Dalil muzhir: yaitu dalil yang menyingkap, diakui keberadaanya karena ada isyarat dari dalil munsyi’ tentang penggunaanya. Termasuk dalam kelompok ini adalah metode-metode ijtihad seperti : ijma’, qiyas, istihsan, istislah, istishab dan sebagainya.
Dengan demikian sumber dan metode memiliki perbedaan. Sumber dengan sendirinya mengandung aturan-aturan hukum, sehingga tidak bergantung pada hal lain. Metode adalah alat atau cara untuk menggali aturan yang terdapat di dalam sumber, sehingga keberadaan fungsinya tergantung sumber.[3]
B.     SUMBER HUKUM ISLAM
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Syariat Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan - idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang berisi kitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman umat Islam. Berdasarkan definisi ini, terdapat beberapa konsekuensi kedudukan Al-Qur’an, yaitu :
a.       Al-Qur’an adalah kalam Allah yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dengan demikian kedudukan Al-Qur’an adalah wahyu yang secara khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad, sehingga tidak mencakup wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad.
b.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, semua penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak termasuk dalam pengertian Al-Qur’an. Konsekuensinya, kedudukan tafsir dan terjemahan Al-Qur’an tdak sama dengan kedudukan Al-Qur’an.
c.       Lafal dan makna Al-Qur’an murni dari Allah, hal mana berbeda dengan hadist nabawi maupun hadist qudsi. Semua ayat Al-Qur’an bebas dari ijtihad atau penafsiran Nabi Muhammad, karena posisi Nabi dalam proses pewahyuan adalah sebagai penerima wahyu. Konsekuensinya, periwayatan Al-Qur’an tidak boleh dengan makna saja, tetapi harus dengan lafalnya.
                        Secara umum, fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. menurut Ali Syari’ati, petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal :
a.       Petunjuk yang berupa doktrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Seperti : petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at, metafisika tentang Tuhan dan kosmologi  alam, serta penjelasan tentang sejarah dan eksistensi manusia.
b.      Petunjuk yang terdapat dalam ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci, nabi, kaum, dan sebagainya. Setiap kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an memberikan suatu protet kehidupan, yang baik maupun yang buruk, agar pembacanya mengambil hikmah dari setiap kisah yang diceritakan. Hikmah tersebut berupa petunjuk tentang bagaimana mencapai keselamatan atau menghindar diri dari musibah.
c.       Petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari. Banyak ayat ayat Al-Qur’an yang memiliki kekuatan lain, atau difungsikan lain oleh umat Islam. Artinya, tidak ada kesesuaian antara makna ayat dengan fungsi yang di inginkan. Petunjuk yang berupa mukjizat ini mendapatkan kebenaran dari praktek Nabi Saw.[4]
Dengan menganalisa ayat-ayat al-qur’an terlihat bahwa allah SWT menurunkan  Al-Qur’an dengan dua tujuan utama. pertama bagi kepentingan pribadi nabi dan kedua bagi kepentingan umat  manusia.
Berdasarkan kandungannya, para ulama fiqh maupun ushul fiqh membagi ayat Al-Qur’an kedalam dua jenis, yaitu ayat hukum dan ayat non hukum. Ayat –ayat hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi lagi dalam dua kategori dasar yaitu:
a.       Hukum yang mengatur hubungan antaraa Allah dengan manusia.
b.      Hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia. [5]
2.      Hadist atau As-Sunnah
Hadist adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Pengertian hadist sering identik dengan sunnah, meskipun para ulama hadist membedakannya. Sunnah diartikan secara khusus untuk tradisi yang diyakini berasal dari perbuatan atau kebiasaaan Rasulullah yang berkaitan dengan ajaran Islam.[6]
Kata sunnah yang berasal dari bahasa arab secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan. Para ulama islam mengutip kata sunnah dari al-qur’an dan bahasa arab dan mereka menggunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama”. Kata sunnah sering disebutkan seiring dengan kata kitab.
Al-qur’an disebut sumber yang asli bagi hukum islam maka sunnah berfungsi sebagai sumber bayani. dalam kedudukannya sebagai sumber bayani sunnah menjalankan fungsi sebagai berikut:
a.       Menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-qur’an
  1. Memberikan penjelasan yang samar dalam  al-qur’an
  2. Menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang  secara jelas tidak disebutkan dalam al-qur’an.[7]
Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. dalam kedudukannya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan allah dalam Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum al-qur’an tidak diragukan lagi.
Untuk menentukan suatu hukum maka perlu suatu metode, yaitu Metode sunnah, yakni suatu metode dalam menentukan suatu hukum berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, baik ucapan, perbuatan, maaupun keputusannya. Akan tetapi, dalam perkembangannya metode ini seperti halnya metode Al-Qur'an melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu pengetahuan dan zaman. Dalam penggunaan sunnah sebagai sumber hukum dan upaya-upaya interprestasinya, terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang boleh dikatakan aliran literalisme. Aliran yang menafsirkan sunnah secara harfiyah. Kedua, aliran yang menafsirkan sunnah secara metafor yang dapat disebut spiritualisme. Aliran ini menganggap bahwa hadis-hadis Nabi dalam arti ungkapan yang sesuai dengan tingkatan kemampan intelektual dan kebudayaan masyarakat pada zamannya. Dengan demikian, untuk interpretasi masa kini diperlukan penafsiran dan pemahaman kontekstual.

C.       METODE-METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
       Metode yang dimaksud di sini adalah cara, teori atau kerangka konseptual yang dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum suatu persoalan. Metode-metode ijtihad di kelompokan menjadi dua, yaitu metode yang disepakati  berlakunya oleh jumhur ulama (fuqaha dan usuliyyin) dan metode yang diperselisihkan di antara mereka. Metode yang disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan metode yang tidak disepakati antara lain: istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, dan saddudz dzari’ah.
1.    Ijmak
Definisi ijmak adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Pengertian seperti ini  mengindikasikan sebuah masyarakat formal yang dihadiri para ulama yang berakhir dengan keputusan mufakat.

2.    Qiyas
Menurut Ulama’, Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.[8]
3.    Istihsan
Istihsan artinya memandang dan menyakini baiknya sesuatu. Menurut Syatibi, Istihsan adalah memberlakukan kemaslahatan parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum, atau mendahulukan maslahah mursalah dari qiyas. Dapat disimpulkan bahwa, istihsan adalah mengalihkan hukum sesuatu kepada hukum baru karena adanya alasan yang lebih kuat, atau lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
4.    Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah penetpan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil nash secara terperinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash. Metode maslahah mursalah merupakan hasil induksi dari logika sekumpulan nash, bukan nash parsial sebagaimana dalam metode qiyas.
5.    Istishab 
Secara etimologi, istishab artinya membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Dalam kajian metode ijtihad, istishab adalah memberlakukan hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash sampai ada dalil lain yang menunjukan perubahan hukum tersebut.
6.    ‘Urf
Secara etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat baik dalam perkataan maupun perbuatan.
7.    Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa saddudz dzari’ah berarti melarang jalan yang menuju kepada sesuatu. Para ulama mendifinisikannya dengan “mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Sumber adalah wadah yang darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian usul fiqh dikenal istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya rujukan utama dalam menetapkan hukum syara’. Kata dalil berarti petunjuk yang membawa seseorang menemukan sesuatu. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan berfikir yang benar guna memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Menurut artian ini, maka kata dalil lebih tepat tersebut dengan metode.
3.      Di sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber hukum menjadi dua jenis, yaitu: Dalil munsyi’,Dalil muzhir
4.      Sumber Hukum Islam yaitu : Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadist
5.      Metode yang disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan metode yang tidak disepakati antara lain: istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, dan saddudz dzari’ah.

Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqih,  Bandung :Gema Risalah Press, 1996.
Ali Sodiqin, Fiqih ushul fiqh, Sejarah Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Asjamuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta :PT. Bulan Bintang, 2004
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam Bandung: Pusat Penerbit Universitas, 1995.



[1] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbit Universitas, 1995), hal. 19-20

[2] Asjamuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 2004), hal. 1
[3] Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih, Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hal. 65-66
[4] Ibid., hal. 66-67
[5] Ibid., hal. 69
[6] Ibid., hal. 76
[7] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbit Universitas, 1995), hal. 40-41
[8] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqih,  (Bandung :Gema Risalah Press, 1996). hal. 92-93

No comments:

Post a Comment