Search This Blog

Monday, March 12, 2012

MAKALAH DINAMIKA ARUS ISLAMISASI DI ERA PERNIAGAAN MARITIM ABAD XIII – XVII


MAKALAH
DINAMIKA ARUS ISLAMISASI DI ERA PERNIAGAAN MARITIM ABAD XIII – XVII

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam Di Asia Tenggara Semester 2
Di Ajukan Kepada : Dra. Himayatul Ittihadiyah, M.Hum







Oleh :
Azkan
07120012
Siti Nur Asiah
09120029
Rizka Kusuma R
11120080
Muhamadi
11120093


JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012





BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Asia Tenggara merupakan kawasan strategis dalam menyelesaikan dilema krusial sejarah modern kewilayahan regional tahap awal. Seluruh kawasan air dilewati rute perdagangan hingga muncul lonjakan aktifitas maritim Cina pada abad ke-15 telah mengubah Asia Tenggara dan memungkinkannya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Pedagang pedagang mulai berdatangan dan melakukan interaksi dengan masyarakat sekitar. Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Lama-kelamaan penganut agama Islam semakin banyak. Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Asia Tenggara. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga semakin bertambah pemeluk agama Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang Struktur dan Kultur Kawasan Asia Tenggara
Dalam kurun niaga (1450-1680). Interaksi Asia Tenggara dengan daerah diluar kawasan sangat sedikit, meskipun pengaruh kebudayaan Cina dan India datang melalui perdagangan, kecuali dalam kasus Vietnam Utara yang pernah ditaklukkan oleh Cina dan juga sekaligus merupakan daerah perbatasan Asia Tenggara dengan Cina. Sebaliknya interaksi dagang diantara mereka berdagang secara damai dan saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Bahasa Melayu rupanya menjadi semacam bahasa perantara (lingui franca) yang dapat dipakai diberbagai bahasa Inggris kini. Banyak istilah bahasa Melayu yang memasuki bahasa Inggris seperti Kompong (Kampung atau Compound) atau gudang (godown).[1]
Sebelum adanya perniagaan maritim, jauh sebelum itu orang-orang sudah melakukan kegiatan perdagangan, akan tetapi melalui rute yang berbeda yakni jalur sutera (melewati gurun pasir). Namun ketika dirasakan rute ini sudah mulai tidak aman, maka para pedagang dan saudagar itu mencari jalur alternatif, yaitu melalui jalur pelayaran. Dan sungguh alternatif yang sangat bagus, karena melalui jalur ini, mereka bisa lebih cepat menempuh perjalanan, dan barang dagangannyapun lebih cepat terjual karena lapangan perniagaan mereka yang melalui rute ini mayoritasnya daerah pesisir.
Banyak literatur mencatat, bahwa sejak abad X pun, perdagangan maritim telah ada. Akan tetapi perdagangan jalur laut ini mengalami masa keramaiannya pada abad XIII. Selain para pedagang-pedagang asing yang membawa barang dagangan, komoditas perdagangan yang ada di Asia Tenggara pun ternyata menjadi faktor penting ramainya perdagangan ini.
Abad XIII Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam. Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo, seorang pengembara dari Italia, yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam. Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297. Selain orang Arab, Cina, India dan Persia, perniagaan maritim inipun diramaikan oleh orang-orang berkulit putih (orang eropa).

  1. Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara melalui para pedagang dan saudagar yang berlayar sampai ke pesisir Asia Tenggara, atau kita sebut saja bandar terbesar pada waktu itu, yakni Bandar Malaka. Bandar merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama islam memperkenalkan islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Para pedagang didalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antar pedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore yang terletak di Nusantara (Indonesia).
Jika Islam di wilayah kepulauan Nusantara mengalami revolusi keagamaan, maka Islam di wilayah Asia Tenggara di daratan mengalami tandingan berat dari Budhisme Theravada dan juga Khatolik. Meskipun demikian, Islam mencapai puncak pengaruhnya di Champa Kampuchea dan Siam dalam paruh abad ke-17. Namun, berbeda dengan di wilayah  kepulauan, ketika Islam terus merambah ke Pedalaman, Islam di daratan Asia Tenggara terkonsentrasi pada wilayah-wilayah perdagangan di sekitar pelabuhan-pelabuhan.

  1. Peran Etnis Arab
Arab, tidak bisa kita nafikan memiliki kedekatan sendiri dengan dunia Islam. Karena di Arablah Islam pertama kali lahir dan berkembang. Adapun kegiatan perdagangan, sudah sejak lama mata pencaharian penduduk bangsa ini adalah berdagang. Sehingga tidak mengherankan bila pada akhirnya bangsa ini mampu menjadi bangsa yang berperadaban tinggi, karena kegiatan mereka yang cenderung sering bergaul dengan orang-orang baru dan mengunjungi tempat-tempat yang baru membuat wawasan mereka terbuka dan semakin luas.
Begitu pula dengan kedatangan bangsa ini ke Asia Tenggara. Jauh sebelum perdagangan maritim di kenal, bangsa ini telah bisa sampai hingga ke negeri tionghoa dengan melalui perjalanan darat atau yang lebih dikenal dengan nama jalur sutera. Mereka berjalan berbulan-bulan lamanya menyusuri padang pasir demi menuju tempat yang mereka tuju. Dan setelahnya jalur maritim dikenal, akses mereka untuk mencapai daerah-daerah baru pun menjadi semakin mudah. Apabila sebelumnya untuk menuju daratan Asia Tenggara mereka harus melalui India terlebih dahulu, maka setelah jalur maritim dikenal, maka jarak dan waktu yang mereka butuhkan untuk menempuhnyapun menjadi lebih sebentar.
Selain berdagang, mereka juga membawa misi keagamaan. Dan penduduk setempatpun mudah untuk menerima ajaran baru yang mereka bawa ini, karena mereka terkesan dengan para pedagang dan saudagar yang memiliki kehalusan budi dan sopan santun baik dalam berucap maupun bertingkah laku. Hal itu pula yang menyebabkan raja atau penduduk setempat bersedia menikahkan anak mereka dengan pedagang atau saudagar Arab itu. Sehingga pada akhirnya, persebaran Islam di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya berlangsung tanpa halangan yang berarti.

  1. Peran Etnis Cina
Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena angin musim yang berhembus berpengaruh pula pada pelayaran, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka.[2]
Selain itu, ternyata Cina jauh sebelum abad XIII telah melakukan perdagangan maritim internasional dengan Asia Barat, yaitu tepatnya pada awal abad V. Ini yang kemudian menyulitkan bangsa Indonesia memasarkan hasil daerahnya di Cina. Karena mereka harus bersaing dengan bangsa Asia Barat. Cina bagian selatan pada masa itu memang sudah menjadi pasar yang baik untuk perdagangan dari luar. Salah satu ciri dari suatu perdagangan adalah adanya persaingan antar penjual yang satu dengan penjual yang lain. Begitupun yang terjadi antara bangsa Indonesia dan Asia Barat, Asia Barat sempat menutup masuknya pedagang dari wilayah Indonesia ke Cina. Indonesia pada waktu itu harus dapat mengimbangi barang-barang yang dibawa oleh bangsa Asia Barat ke Cina, alasannya adalah karena Cina memberi nilai tinggi atas barang-barang yang dipasarkan Asia Barat, sehingga untuk dapat mengimbangi keadaan itu Indonesia harus dapat menyamai kedudukan barang-barang dalam penilaian orang Cina.[3]
Namun, karena Indonesia mempunyai kekayaan alam yang baik, tidak mustahil untuk dapat mengimbangi barang-barang yang dibawa Asia Barat. Seperti bahan wangi-wangian dari Asia Barat dapat disaingi dengan bahan yang dihasilkan Indonesia.(sej nasional II) Misalnya berbagai jenis kemenyan dan kayu harum seperti cendana. Demikian pula hasil rempah-rempah akhirnya lambat laun memasuki pasar Cina Selatan. Ditambah pula dengan berbagai hasil kerajinan dan binatang yang hanya terdapat di Indonesia.[4]
Akibat dari hubungan dagang ini kemudian islam menyebar ke China sejak awal dinasti Tang, pada abad ke-7 oleh para pedagang Arab dan Persia, melalui jalur sutera dan jalan keramik. Pedagang-pedagang Arab dan Persia tersebut disebut oleh orang China dengan sebutan hushang (pedagang asing). Ruang lingkup mereka dibatasi oleh orang-orang asli China, yaitu mereka harus tinggal di fanfang (tempat tinggal sementara).
Selanjutnya islam berkembang pesat saat Mongol berkuasa di China. Migrasi besar-besaran muslim dari asia tengah dan asia barat ke China mengakibatkan perubahan signifikan pada situasi politik dan sosial China. Ruang lingkup muslim di China yang tadinya sangat terbatas, dibawah kekuasaan mongol, mereka seperti mendapatkan angin segar, kaum muslim mendapatkan posisi yang sama dengan warga China pada umumnya, dan sudah dianggap sebagai warga China. Bahkan ada sebagian muslim yang sudah duduk di kursi pemerintahan China bersamaan dengan kekuasaan Mongol.
Bangsa Mongol dan komunitas Hui-hui dari asia barat dan asia tengah memperkenalkan ilmu dan teknologi islam di China, banyak ilmu pengetahuan yang di impor ke china, seperti  ilmu matematika, astronomi, arsitektur, dan lain lain. Juga saat itu telah banyak ditemukan bangunan masjid di China yang didirikan oleh komunitas Hui-hui. Sehingga saat itu China mempunyai peradaban yang maju.

  1. Peran Etnis India
Sama halnya dengan bangsa Arab, India juga mempunyai peranan yang amat penting dalam melakukan islamisasi di Asia Tenggara. Dan salah satu negara yang membawa masuk islam ke Nusantara pertama kali ialah India. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Batutah, ia menyimpulkan bahwa orang-orang yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa islam ke Asia Tenggara. Ia mendukung teorinya ini dengan melihat hubungan dagang yang dilakukan keduanya, yaitu Asia Tenggara dan India. Ini lebih memungkinkan lagi islamisasi oleh bangsa India dilakukan dengan cara berdagang.[5]
Ada alasan lain yang lebih faktual berkaitan dengan islamisasi di Nusantara ini dilakukan oleh India (gujarat), yaitu ditemukannya inskripsi tertua islam di Sumatra yang di dalamnya menggambarkan hubungan Sumatra dan Gujarat. India tentu berperan penting dalam proses islamisasi di Asia Tenggara, walaupun memang pendapat tentang negara mana yang pertama kali membawa islam ke Asia Tenggara ini masih belum mutlak, artinya masih diperdebatkan, antara lain ada yang menyebutkan bahwa Arab-lah yang pertama kali membawa islam ke Asia tenggara, pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd (1820), meskipun ia menyebut adanya hubungan antara Arab dengan orang-orang “Mohammedan” di India Timur.
Kemudian pendapat tersebut dikembangkan oleh Snouch Hurgronye, dan dikembangkan lagi oleh Morrison pada 1951. Menunjuk tempat yang  pasti di India, ia menyatakan dari sanalah islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.

  1. Peran Etnis Persia
Menurut Hoesen Djajadiningrat, islam masuk ke Nusantara dibawa oleh orang-orang dari Persia, yang singgah terlebih dahulu di Gujarat pada abad ke-13. Alasan yang mendasari datangnya islam dibawa oleh orang-orang Persia ialah kemiripan kebudayaan di kalangan umat islam Indonesia dengan kebudayaan yang ada di Persia. Seperti, penggunaan ejaan bahasa Iran dalam mengeja huruf Arab, persamaan antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan Al-Hallaj, dan lain-lain. Sama dengan bangsa lain yang melakukan islamisasi dengan cara berdagang, Persia pun memanfaatkan hubungan dagang dengan Asia Tenggara sebagai media islamisasi.
Banyak dari kalangan sejarawan barat (Eropa) menyebut bahwa islam datang ke Asia Tenggara pertama kali dibawa oleh  para pedagang dan da’i dari Gujarat  (India), dan pada kesempatan yang lain mereka mengatakan da’i itu berasal dari Persia.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Persebaran Islam di Asia Tenggara banyak melibatkan berbagai Negara yang terlibat dalam proses islamisasi seperti India, Arab, Cina, dan Persia. Semua Negara memberikan pengaruh terhadap islamisasi di Asia Tenggara dan hampir seluruhnya melakukannya dengan cara berdagang, walaupun dalam perkembangannya kemudian dakwah islam itu ada yang melalui cara perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan mungkin cara-cara lainnya.



   
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, 2006, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: PT Rosda Karya.
Djoened Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho, 1992, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka.
Kadir, Abdul, 2010, Chang Ho: penyebar islam dari Cina ke Nusanatara, Jakarta: Kompas.
Reid, Anthony, 1992, Asia Tengara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


[1] A. Reid, Asia Tengara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Jakarta, 1992, hal xvi.
[2] Djoened Poesponegoro dkk. Sejarah Nasional Indonesia II. Hal. 1

[3] Ibid. Hal 10
[4] Ibid. Hal 12
[5] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung, 2006, hal 32.

No comments:

Post a Comment