MAKALAH
SUMBER
DAN METODE HUKUM ISLAM
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam
Di Asia Tenggara Semester 2
Di Ajukan Kepada
: Dr. Ali Sodiqin
Oleh :
Ahmad Aris Faizin
|
11120066
|
Muhammad Adi Saputro
|
11120053
|
Muhamadi
|
11120093
|
JURUSAN SEJARAH
DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Di
dalam kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari hukum syariat Allah SWT baik
itu hubungan kita kepada-Nya (ubudiyyah) maupun hubungan kita kepada
sesama manusia (amaliyyah). Metode hukum islam bersumberkan dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits atau As-sunnah kemudian para sahabat berijtihad setelah
meninggalnya Rasulullah SAW, para tabi’in dan sesudahnya beristimbat dan
menghasilkan perbedaan hasil ijtihad karena di sebabkan oleh pemahaman akan
maksud syari’at dan tingkat keilmuan serta keadaan pada zamannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER
DAN MOTODE HUKUM ISLAM
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’’
merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fiqih dan
ushul fiqih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama
pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm
adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan untuk menemukan
hukum’. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan
ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang
disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama
juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas).[1]
Sumber adalah wadah
yang darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian
usul fiqh dikenal istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya rujukan
utama dalam menetapkan hukum syara’. Kata dalil berarti petunjuk yang membawa
seseorang menemukan sesuatu. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan
berfikir yang benar guna memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Menurut
artian ini, maka kata dalil lebih tepat tersebut dengan metode.
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh metode
penemuan hukum dipakai dengan istilah “istinbath”. Istinbath artinya
adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan
kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[2]
Metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang
ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya.
Dengan demikian istinbath adalah
cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum
Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam
ilmu Ushul Fiqh. Usaha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang
disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan
dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil
Al-Qur’an atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan
dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang
menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang
menjadi tujuan ketentuan hukum.
Dalam
kitab ushul fiqh, seringkali ditemukan penggunaan kata masadir atau dalil yang
mencakup sumber sekaligus dalil. Di sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber
hukum menjadi dua jenis, yaitu:
1. Dalil
munsyi’: atau dalil pokok yang keberadaanya tidak memerlukan dalil lain.
Termasuk kategori ini adalah Al-Qur’an dan Hadist. Pengertian ini lebih merujuk
kepada arti masadir atau sumber hukum.
2. Dalil
muzhir: yaitu dalil yang menyingkap, diakui keberadaanya karena ada isyarat
dari dalil munsyi’ tentang penggunaanya. Termasuk dalam kelompok ini adalah
metode-metode ijtihad seperti : ijma’, qiyas, istihsan, istislah, istishab dan
sebagainya.
Dengan
demikian sumber dan metode memiliki perbedaan. Sumber dengan sendirinya
mengandung aturan-aturan hukum, sehingga tidak bergantung pada hal lain. Metode
adalah alat atau cara untuk menggali aturan yang terdapat di dalam sumber,
sehingga keberadaan fungsinya tergantung sumber.[3]
B.
SUMBER
HUKUM ISLAM
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syariat Allah yang terkandung
dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang
mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan
kehidupannya berdasarkan syariat yang termaktub dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Syariat
Ilahi yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan
masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial
yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan - idealnya
Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang
serba mencakup.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang berisi kitab Allah dan berfungsi
sebagai pedoman umat Islam. Berdasarkan definisi ini, terdapat beberapa
konsekuensi kedudukan Al-Qur’an, yaitu :
a.
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang khusus
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dengan demikian
kedudukan Al-Qur’an adalah wahyu yang secara khusus diturunkan kepada Nabi
Muhammad, sehingga tidak mencakup wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi
Muhammad.
b.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
Oleh karena itu, semua penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak termasuk dalam
pengertian Al-Qur’an. Konsekuensinya, kedudukan tafsir dan terjemahan Al-Qur’an
tdak sama dengan kedudukan Al-Qur’an.
c.
Lafal dan makna Al-Qur’an murni dari
Allah, hal mana berbeda dengan hadist nabawi maupun hadist qudsi. Semua ayat Al-Qur’an
bebas dari ijtihad atau penafsiran Nabi Muhammad, karena posisi Nabi dalam
proses pewahyuan adalah sebagai penerima wahyu. Konsekuensinya, periwayatan
Al-Qur’an tidak boleh dengan makna saja, tetapi harus dengan lafalnya.
Secara
umum, fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. menurut Ali
Syari’ati, petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal :
a.
Petunjuk yang berupa doktrin atau
pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Seperti
: petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at, metafisika tentang
Tuhan dan kosmologi alam, serta
penjelasan tentang sejarah dan eksistensi manusia.
b.
Petunjuk yang terdapat dalam ringkasan
sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci, nabi, kaum, dan sebagainya.
Setiap kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an memberikan suatu protet kehidupan,
yang baik maupun yang buruk, agar pembacanya mengambil hikmah dari setiap kisah
yang diceritakan. Hikmah tersebut berupa petunjuk tentang bagaimana mencapai
keselamatan atau menghindar diri dari musibah.
c.
Petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu
kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari. Banyak ayat ayat Al-Qur’an
yang memiliki kekuatan lain, atau difungsikan lain oleh umat Islam. Artinya,
tidak ada kesesuaian antara makna ayat dengan fungsi yang di inginkan. Petunjuk
yang berupa mukjizat ini mendapatkan kebenaran dari praktek Nabi Saw.[4]
Dengan menganalisa ayat-ayat al-qur’an terlihat bahwa
allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan dua tujuan utama. pertama bagi
kepentingan pribadi nabi dan kedua bagi kepentingan umat manusia.
Berdasarkan kandungannya, para ulama fiqh maupun
ushul fiqh membagi ayat Al-Qur’an kedalam dua jenis, yaitu ayat hukum dan ayat
non hukum. Ayat –ayat hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi lagi dalam dua
kategori dasar yaitu:
a.
Hukum yang mengatur hubungan antaraa
Allah dengan manusia.
b.
Hukum yang mengatur hubungan antar
sesama manusia. [5]
2. Hadist
atau As-Sunnah
Hadist adalah penuturan
sahabat tentang Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya. Pengertian hadist sering identik dengan sunnah, meskipun para ulama
hadist membedakannya. Sunnah diartikan secara khusus untuk tradisi yang
diyakini berasal dari perbuatan atau kebiasaaan Rasulullah yang berkaitan
dengan ajaran Islam.[6]
Kata sunnah yang berasal dari
bahasa arab secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan. Para
ulama islam mengutip kata sunnah dari al-qur’an dan bahasa arab dan
mereka menggunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam
pengalaman agama”. Kata sunnah sering disebutkan seiring dengan kata kitab.
Al-qur’an disebut sumber yang asli
bagi hukum islam maka sunnah berfungsi sebagai sumber bayani. dalam
kedudukannya sebagai sumber bayani sunnah menjalankan fungsi sebagai berikut:
a.
Menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut
dalam al-qur’an
- Memberikan penjelasan yang samar dalam al-qur’an
- Menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak disebutkan dalam al-qur’an.[7]
Sunnah berfungsi sebagai penjelas
terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. dalam kedudukannya sebagai
penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an
dengan arti menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan allah dalam
Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar
menjelaskan hukum al-qur’an tidak diragukan lagi.
Untuk menentukan suatu
hukum maka perlu suatu metode, yaitu Metode sunnah, yakni suatu metode dalam
menentukan suatu hukum berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, baik ucapan, perbuatan,
maaupun keputusannya. Akan tetapi, dalam perkembangannya metode ini seperti
halnya metode Al-Qur'an melewati perkembangan yang berjalan sejalan dengan ilmu
pengetahuan dan zaman. Dalam penggunaan sunnah sebagai sumber hukum dan
upaya-upaya interprestasinya, terdapat dua aliran. Pertama adalah aliran yang
boleh dikatakan aliran literalisme. Aliran yang menafsirkan sunnah secara
harfiyah. Kedua, aliran yang menafsirkan sunnah secara metafor yang dapat
disebut spiritualisme. Aliran ini menganggap bahwa hadis-hadis Nabi dalam arti
ungkapan yang sesuai dengan tingkatan kemampan intelektual dan kebudayaan
masyarakat pada zamannya. Dengan demikian, untuk interpretasi masa kini
diperlukan penafsiran dan pemahaman kontekstual.
C. METODE-METODE PENETAPAN HUKUM ISLAM
Metode
yang dimaksud di sini adalah cara, teori atau kerangka konseptual yang
dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum suatu persoalan. Metode-metode
ijtihad di kelompokan menjadi dua, yaitu metode yang disepakati berlakunya oleh jumhur ulama (fuqaha dan
usuliyyin) dan metode yang diperselisihkan di antara mereka. Metode yang
disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan metode yang tidak
disepakati antara lain: istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, dan
saddudz dzari’ah.
1. Ijmak
Definisi
ijmak adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum
syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Pengertian seperti ini mengindikasikan sebuah masyarakat formal yang
dihadiri para ulama yang berakhir dengan keputusan mufakat.
2. Qiyas
Menurut
Ulama’, Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada
kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran
adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya)
hukumnya.[8]
3. Istihsan
Istihsan
artinya memandang dan menyakini baiknya sesuatu. Menurut Syatibi, Istihsan adalah memberlakukan
kemaslahatan parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum, atau mendahulukan maslahah
mursalah dari qiyas. Dapat disimpulkan bahwa, istihsan adalah mengalihkan hukum
sesuatu kepada hukum baru karena adanya alasan yang lebih kuat, atau lebih
sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
4. Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah adalah penetpan hukum berdasarkan kemaslahatan yang tidak didukung
oleh dalil nash secara terperinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.
Metode maslahah mursalah merupakan hasil induksi dari logika sekumpulan nash,
bukan nash parsial sebagaimana dalam metode qiyas.
5. Istishab
Secara
etimologi, istishab artinya membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Dalam
kajian metode ijtihad, istishab adalah memberlakukan hukum asal yang ditetapkan
berdasarkan nash sampai ada dalil lain yang menunjukan perubahan hukum
tersebut.
6. ‘Urf
Secara
etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal
sehat. Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat baik
dalam perkataan maupun perbuatan.
7. Saddudz Dzari’ah
Secara
bahasa saddudz dzari’ah berarti melarang jalan yang menuju kepada sesuatu. Para
ulama mendifinisikannya dengan “mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan,
atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Sumber adalah wadah yang darinya digali
segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian usul fiqh dikenal
istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya rujukan utama dalam
menetapkan hukum syara’. Kata dalil berarti petunjuk yang membawa seseorang
menemukan sesuatu. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan berfikir yang
benar guna memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis. Menurut artian ini,
maka kata dalil lebih tepat tersebut dengan metode.
3. Di
sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber hukum menjadi dua jenis, yaitu: Dalil
munsyi’,Dalil muzhir
4. Sumber
Hukum Islam yaitu : Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadist
5. Metode
yang disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan metode yang tidak
disepakati antara lain: istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf, dan
saddudz dzari’ah.
Daftar Pustaka
Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqih,
Bandung :Gema Risalah Press, 1996.
Ali Sodiqin,
Fiqih ushul fiqh, Sejarah Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012.
Asjamuni A. Rahman, Metode
Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, Jakarta :PT. Bulan Bintang, 2004
Praja,
Juhaya S. Filsafat Hukum Islam Bandung: Pusat Penerbit Universitas,
1995.
[1] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum
Islam (Bandung: Pusat Penerbit Universitas, 1995), hal. 19-20
[2]
Asjamuni A. Rahman, Metode
Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 2004), hal. 1
[3]
Ali Sodiqin, Fiqih Ushul Fiqih, Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hal.
65-66
[4] Ibid.,
hal. 66-67
[5] Ibid.,
hal. 69
[6] Ibid.,
hal. 76
[8]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul
Fiqih, (Bandung :Gema Risalah Press,
1996). hal. 92-93
No comments:
Post a Comment