MAKALAH
DINASTI-DINASTI DI
MESIR DAN SYIRIA
(AYYUBIYAH DAN MAMLUK)
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah
dan Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu : Dra. Ummi Kulsum, M.Hum.
Oleh:
Muhammadi
|
11120093
|
Kelas : I
/ SKI / C
JURUSAN SEJARAH DAN
KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Mesir yang
menyimpan peradaban yang tinggi telah terbentuk ketika mengalami berbagai masa
keemasan setiap dinasti. Pada periode
kedua dari pemerintahan Abassiyah, Mesir
merupakan wilayah otonom dari Baghdad. Namun karena terjadi perselisihan
di pusat pemerintahan Abassiyah, maka daerah otonomnya mendapat hak otonomnya. Hal
itu semakin membuat dinasti-dinasti kecil yang ada di mesir menguat dan
mencapai kejayaannya. Beberapa dinasti yang masing-masing mengukir peradaban
itu adalah : Dinasti Thuluniyah (868-904 M), Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M),
Dinasti Fatimiyah (972-1130 M), Dinasti Ayyubiyah (1169-1250 M), dan Dinasti
Mamluk (1250-1515 M).
Dalam
perkembangannya tercatat bahwa dinasti di Mesir yang paling berpengaruh akan
kejayaan Islam adalah Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk, mengingat bagaimana
perjuangan dan keberhasilan dinasti tersebut dalam menghadapi sekutu. Dinasti
Ayyubiyah di dirikan oleh Salahudin Al- Ayyubi, kemenangan yang dicapainya
dalam mengalahkan tentara pasukan Perang Salib telah membawa namanya
dikalangan mayshur dikalangan bangsa
Eropa. Sedangkan Dinasti Mamluk di dirikan oleh Mamluk Aibak, seorang budak
yang diangkat menjadi tentara Salahudin. Kemenangannya saat mengalahkan
kelompok nasrani yang menyerang Syam dan mengalahkan tentara Mongol, membuat
kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Oleh
karena itu pembahasan pada kali ini akan terfokus pada dua dinasti tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dinasti Ayyubiyah
(1169-1250 M)
1.
Masa Berdirinya
Pada tahun 1160 M, Dinasti Fatimiyah
mulai melemah kesempatan itu digunakan Nurudin raja di negri Syam, untuk
mengutus seorang pemimpin militer yang cakap bernama Syirkuh. Dengan komando
dari Nurudin, Syirkuh memanfaatkan situasi itu. Setelah mendapatkan beberapa
kemenangan militer dan diplomatik yang dicapai di Mesir, Syirkuh mulai menapaki
karir politik dengan menerima jabatan mentri di Mesir (1169) di bawah pimpinan
al-‘Adid, khalifah Fatimiyah yang terakhir.[1]
Namun karena Syawar (mentri sebelum Syirkuh) merasa iri dengan Syirkuh, maka
Dia meminta bantuan Almaric saudaranya untuk melawan Syirkuh. Akhirnya Syirkuh
meninggal dan di gantikan keponakannya,
Salahudin al-Ayyub.
Dinasti Fatimiyah yang mulai melemah
kekuasaanya dan tak sanggup menangkis serangan kaum salib, serta rajanya
al’Adid li Dinillah yang telah tua dan sakit-sakitan membuat Nurudin mengutus Salahudin ke Mesir
untuk menduduki Mesir dan tentaranya.[2]
Nurudin berkeinginan agar nama kekhalifahan Abassiyah menggantikan kekhalifahan
Fatimiyah. Maka dia mengutus Salahudin untuk mengumumkannya ketika khutbah
jum’at. Saladin mengadakan musyawarah
bersama tokoh-tokoh lain, akhirnya semua setuju atas penggantian
khalifah Fatimiyah.
Salahudin berambisi besar untuk
mendapatkan kedaulatan atas kawasan muslim Suriah. Dan itu diwilayah itulah
Nurudin berkuasa, sehingga sejak saat itu hubungan keduanya mulai meruncing.
Bertepatan dengan wafatnya Nurudin pada tahun 1176 M, Salahudin menyatakan
kemerdekaannya di Mesir. Salahudin secara pribadi meminta khalifah Abbasiyah
untuk melantikknya sebagai penguasa atas
wilayah Mesir, Maroko, Nubiq, Arab Barat, Palestina, dan Suriah Tengah.
Khalifah pun mengabulkan permintaanya, maka di ploklamirkanlah Dinasti
Ayyubiyah.
2.
Masa Kejayaan
Pasukan perang yang dikomandokan
oleh Salahudin al-Ayyubi telah berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir
tahun 1175 M. Hasil peperangan Salahudin yang terbesar adalah merebut kembali
Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian, kerajaan Yerussalem yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum
Muslimim sangat memukul perasaan tentara salib, Mereka pun menyusun rencana
balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman,
Richard The Lion Heart raja Inggris, Philip Augustus raja Perancis. Pasukan ini
bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Salahudin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan
Latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2
November 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Salahudin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam
perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang berziarah ke Baitul
Maqdis tidak akan diganggu.[3]
Keberhasilan Saladin membawa dirinya
menjadi kenamaan di tengah-tengah bangsa Mesir. Pada periode Saladin menjadi
penguasa Arab dan The Champion of Islam. Persatuan Mesir, Syiria, Mesopotamia,
dan Yaman dengan demikian mencapai konsolidasi sumber-sumber Islam yang
tersedia untuk perjuangan yang menentukan melawan orang-orang Salib.
Orang-orang Kurdi dan Turkoman juga bergabung dengan pasukan perang Salahudin, dan pengaruhnya terdapat di Asia
Barat.[4]
Pada tahun 1176, Salahudin memimpin
serangan ke Mashyad, markas besar Rasyid al-Din Sinan, pemimpin kelompok
Hasyasyin yang kemudian menyerah dengan syarat bahwa Salahudin tidak akan
menyerang lagi dikemudian hari.[5]
Kebijakan-kebijakan Saladin di tujukan untuk pembentukan persatuan
negara-negara Arab untuk mengusir tentara Salib.
Kemenangan-kemengan Salahudin
membuat cemas Paus, raja-raja dan pemimpin-pemimpin Eropa, yang akhirnya mencetuskan
perang Salib ketiga. Perang Suci ini berkesudahan dengan perjanjian Ramleh pada
tahun 1192.
Diantara syarat-syarat penting
perjanjian perdamaian tersebut itu ialah:
1)
Yerussalem tetap berada di tangan
umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah haji di tanah
suci.
2)
Orang-orang Salib akan memperthankan
partai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.
3)
Umat Islam akan mengembalikan relics
Kristen kepada umat kristen.
Setelah perjanjian perdamaian di
Ramleh pada tahun 1192, seluruh daerah merupakan wilayah kekuasaan umat Islam,
kecuali jalur sempit pantai dari Tyre sampai ke Jaffa.[6]
3.
Masa Keruntuhan
Selepas kesultanan Salahudin di
serahkan pada generasi selanjutnya, dinasti Ayyubiyah mengalami kemunduran yang
disebabkan perselisihan yang terjadi diantara para penerusnya. Terlepas dari perselisihan
yang terjadi, pada masa kesultanan masing-masing yang juga mengalami kemenangan
besar atas peperangan melawan tentara Salib. Hal itu dapat dilihat dari tiap
masa kesultanan dinasti Ayyubiyah setelah Salahudin wafat.
Saladin digantikan oleh saudaranya,
al-'Adil, dia mewarisi kekuasaan di Karak dan Syaubak. Tapi antara 1196-1199,
al-'Adil memanfaatkan perselisihan antara keponakan-keponakannya, mengambil
kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar Suriah untuk dirinya sendiri. Setelah
al-'Adil wafat ia digantikan oleh anaknya al-Kamil, sebelumnya ia bertugas
mengusir orang-orang Salib dari Daimeta.
Baybar, Mamluk (budak belian) yang
sudah dilatih oleh Sultan Salih memburu pasuka Salib di lorong-lorong kota
Mansurah. Ketika para mamluk berjalan menuju Mansurah, Sultan Salih ayyub
meninggal dunia pada tahun 1249. Anak tertua dan putera mahkotanya, Turan Syah
Berada di benteng Kiva di Diyar Bakr.[7]
Dia selanjutnya memegang kesultanan. Turan gagal beradaptasi denganpara mamluk
ayahnya, yang berkomplot dengan ibu tirinya. Akhirnya Turan Syah pun dibunuh.
Syajar al-Dur memploklamirkana dirinya sebagai ratu negara Islam.[8]
Akihrnya juga ia di jatuhkan oleh para bangsawan dan pembesar istana di Kairo. Ia di jatuhkan karena tidak
mendapat dukungan dari Baghdad, selanjutnya kesultanan di pegang oleh Amir
Aybek, kemudian ia menikah dengan al-Dur sambil berkuasa di balik tirai.[9]
4.
Peninggalan-peninggalan Dinasti Ayyubiyah
Dinasti Fatimiyah ditumbangkan oleh
dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salahudin, seorang pahlawwan Islam yang
terkenal dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah
yang didirikan oleh dinasti Faimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya
dari Syi’ah kepada Sunni.[10]
Salahudin bukan hanya pejuang dan pahlawan Islam bagi kalangan Sunni.[11]
Selain dikenal sebagai panglima perang Salib, Salahudin juga mendorong kemajuan
di bidang agama dan pendidikan.[12]
Seperti menyokong pengembangan teologi, membangun bendungan, menggali kanal,
juga membangun sekolah dan masjid. Diantara bangunan dan monumennya yang masih
bertahan hingga sekarang adalah Citadel atau Qal’ah Al-Jabar di Kairo Mesir.[13]
B.
Dinasti Mamluk ( 1250-1515 M )
a.
Masa Berdirinya
Mamluk berarti budak, dinasti
mamalik memang didirikan para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang
yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik
dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang
terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, al-Malik al
Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya.[14]
Pondasi kekuasaan Mamluk diletakkan
oleh Syajar al-Dur, janda al-Salih dari dinasti Ayyubiyah yang dulunya juga
seorang budak. Karna dia keturunan Salahudin yang terakhir, oleh para ulama
tidak di tentang karna wanita tidak boleh menjadi raja. Kepemimpinan Syajar
al-Dur hanya berlangsung tiga bulan.[15]
Ia kemudian menikah dengan seorang tokoh mamalik bernama Aybak dan, menyerahkan
tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa dibalik
tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajar dan mengambil
sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang
keturunan pemguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan di samping dirinya
bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya.[16]
Kaum Mamalik terdiri dari dua
kelompok, yakni Mamluk Bahri, yakni pengawal-pengawal yang ditempatkan di pulau
kecil Raudah, di banjaran sungai Nil. Mereka kebanyakan dari Turki dan Mongol.
Sedangkan Mamluk Burji adalah pengawal-pengawal yang ditempatkan di
menara-menara benteng. Mereka kebanyakan berasal dari Sirkasius.
b.
Masa Kejayaan
Sultan pertama Mamluk Bahri adalah
Izzudin Aybak. Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257), ia menghabiskan
sebagian besar waktunya dalam peperangan
di Suriah, Palestina dan Mesir.[17]
Setelah Aybak meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia
muda. Ali kemudian mengundurkan diri
pada tahun 1259 dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz.[18]
Pada masa Sultan Qutuz berlangsung,
pasukan Mongol telah bergerak menuju Palestina, ia akhirnya mengutus Baybar sebagai
panglima perang melawan mereka. Kedua pasukan bertemu di Ain Jalut pada tanggal
13 September 1260 M. Pasukan Baybar berhasil menghancurkan pasukan Tartar yang
dipimpin oleh Kitbugha. Kejayaan yang diraih pada masa Baybar adalah
memporak-porandakan tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di
Pegunungan Syiria.
Dinasti Mamluk Burji pada masanya
tidak banyak mengalami kemenangan atas musuh. Kemenangan yang pernah dicapai
adalah pada masa Sultan Al-Asyraf Baribai, yang mampu mempertahankan wilayahnya
dari pasukan Salib di kepulauan Cyprus, dan mampu menahan kekuatan kaum
Nasrani. Dinasti Mamalik ini membawa warna baru dalam dunia sejarah politik islam. Pemerintahan dinasti ini
bersifat oligarki militer, kecuali pada masa Qalawun bersifat hereditary (turun
temurun).
Dalam bidang ekonomi, dinasti
Mamalik membuka hubungan dagang dengan orang Perancis dan Italia melalui
perluasan jalur perdagangan. Dalam bidang ilmu pengetauan, Mesir menjadi tempat
pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol, karena itu
ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir. Tokoh-tokohnya mempunyai andil besar
dalam perkembangan islam, seperti Ibn Khaldun (sejarah), Abu al-Hasan (kedokteran),
al-Razi (psikoterapi), Ibn Taimiyah (tauhid).
c.
Masa Keruntuhan
Kemajuan-kemajuan itu tercapai
berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer
yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika
faktor-faktor tersebut menghilang. Dinasti Mamalik sedikit-sedikit mengalami
kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal
dengan Mamluk Burji yang pertama kali dibawa oleh Qalawun. Solidaritas antar
sesama militer menurun, terutama ketika Mamluk Burji berkuasa. Kemewahan dan
kebiasaan berfoya-foya dikalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan.
Akibatnya semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil.
Di pihak lain, sesuatu kekuatan
politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamluk, yaitu kerajaan
Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk di Mesir. Dinasti Mamluk
kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar Kairo tahun 1517
M. Sejak itu wilayah Mesir dibawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu
propinsinya.[19]
d.
Peninggalan-Peninggalan Dinasti Mamluk
Masa Dinasti Mamluk merupakan
kemakmuran dan kejayaan di bidang ekonomi dan budaya, disamping seni dan
arsitektur yang mempunyai warna sendiri, seperti yang terlihat dalam hasil
karya seni yang ada pada keramik dan logam. Sultan-sultan Mamluk sangat
tertarik mendirikan masjid-masjid yang sangat besar dengan batu-batu besar.
Maka sejak itu industri batu pahatan atau ukiran tumbuh pesat. Gedung-gedung
itu dihiasi dengan ornamen atau dekorasi terali. Beberapa contoh masjid itu
adalah, Masjid Sultan Hasan dekat benteng Kairo, yang membentuk empat perguruan
tinggi mewakili empat madzhab orthodox dalam Islam. Peninggalan dinasti Mamluk
antara lain berupa Masjid Rifai, Mausoleum Qalawun dan Masjid Sultan Hasan di
Kairo.[20]
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Mesir yang mengalami beberapa
kedinastian mencapai masa kejayaanya ketika pada masa Dinasti Ayyubiyah dan
Dinasti Mamluk. Dinasti Ayyubiyah
berdiri pada tahun 1169 M oleh Salahudin al-Ayubi, yang dulunya panglima
perang raja Nurudin. Ia menjulang reputasinya ketika berhasil melawan tentara
Salib dan berhasil membebaskan Yerussalem. Pada 2 oktober 1187. Salahudin
membagi kekuasaan pada sanak saudaranya sebelum meninggal, mereka masih tetap
bersatu sehingga dapat mempertahankan kekuasaan, tetapi perselisihan intern
keluargaAyubbiyah setelah al-Kamil meninggal, yang sementara itu masih
berlangsung Perang Salib, yang menyebabkan Dinasti ini terpecah.
Dinasti Mamluk berdiri pada tahun
1250 M, oleh Aybak , namun berjaya pada
masa Baybar, yang mampu menghancurkn pasukan Tartar dari Mongol di Ain Jaluk
pada tahun 1260. Mereka terbagai menjdi 2 kelompok yaitu mamluk Bahri, yang
tinggalnya di laut dan Mamluk Burji, yang tinggalnya di menara benteng. Pasukan
Mamluk selanjutnya terus menghalau tentara Salib yang mengdakan ekspensinya ke
wilayah Muslim. Dinasti ini runtuh karena faktor internal, dari para sultanya
berlaku amoral, dan eksternal, dari serbuan pasukan Usmani.
DAFTAR
PUSAKA
Yatim, Badri. 1995. Sejarah
Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press.
Hamka. 1952. Sejarah
umat islam II, Jakarta: Bulan Bintang.
Karim, Abdul Muhamed. 2007, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
Hasan, Ibrahim Hasan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hitti, Philip K. 2006. History
Of The Arabs, Terj. Cet 2. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Mufrodi, Ali. 1997. Islam
Dikawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Amin, Samsul Munir. 2009, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzan
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
[1]
Hamka. Sejarah Umat Islam II, hal. 185.
[2]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 824.
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 78.
[4]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 285.
[5]Philip
K. Hittin, History of The Arab, hal. 825.
[6]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 285-287.
[7]
Ibid, hal. 293.
[8]Philip
K. Hittin, History of The Arab, hal. 836.
[9]
M. Abdul Karim, Sejarah dan Peradaban Islam, hal. 284.
[10]
Badri Yaim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 283.
[11]Philip
K. Hittin, History of The Arab, hal. 832.
[12]
Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam, hal. 279.
[13]
Ibid, hal. 279.
[14]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 124.
[15]
Philip K. Hittin, History of The Arabs, hal. 820.
[16]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 125.
[17]
Philip K. Hittin, History of The Arabs, hal. 863.
[18]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 125.
[19]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 128.
[20]
Samsul Munir Amir, Sejarah Peradaban Islam, hal. 279.
Posting mantaab, terus berkarya Sob, klik juga http://www.matapelajaranski.blogspot.com
ReplyDelete