MAKALAH
DINAMIKA ARUS ISLAMISASI DI ERA PERNIAGAAN MARITIM ABAD XIII – XVII
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam
Di Asia Tenggara Semester 2
Di Ajukan Kepada
: Dra. Himayatul
Ittihadiyah, M.Hum
Oleh :
Azkan
|
07120012
|
Siti Nur Asiah
|
09120029
|
Rizka Kusuma R
|
11120080
|
Muhamadi
|
11120093
|
JURUSAN SEJARAH
DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan
penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Asia Tenggara merupakan
kawasan strategis dalam menyelesaikan dilema krusial sejarah modern kewilayahan
regional tahap awal. Seluruh kawasan air dilewati rute perdagangan hingga
muncul lonjakan aktifitas maritim Cina pada abad ke-15 telah mengubah Asia
Tenggara dan memungkinkannya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Pedagang
pedagang mulai berdatangan dan melakukan interaksi dengan masyarakat sekitar. Di antara para pedagang tersebut,
terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka
mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada
penduduk setempat. Lama-kelamaan penganut agama Islam semakin banyak. Penduduk
setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada
sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang
di masyarakat Asia Tenggara.
Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan
penduduk setempat sehingga semakin bertambah pemeluk agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Struktur dan Kultur Kawasan Asia Tenggara
Dalam kurun
niaga (1450-1680). Interaksi Asia Tenggara dengan daerah diluar kawasan sangat
sedikit, meskipun pengaruh kebudayaan Cina dan India datang melalui
perdagangan, kecuali dalam kasus Vietnam Utara yang pernah ditaklukkan oleh
Cina dan juga sekaligus merupakan daerah perbatasan Asia Tenggara dengan Cina.
Sebaliknya interaksi dagang diantara mereka berdagang secara damai dan saling
melengkapi kebutuhan masing-masing. Bahasa Melayu rupanya menjadi semacam
bahasa perantara (lingui franca) yang dapat dipakai diberbagai bahasa Inggris
kini. Banyak istilah bahasa Melayu yang memasuki bahasa Inggris seperti Kompong
(Kampung atau Compound) atau gudang (godown).[1]
Sebelum adanya perniagaan maritim, jauh
sebelum itu orang-orang sudah melakukan kegiatan perdagangan, akan tetapi
melalui rute yang berbeda yakni jalur sutera (melewati gurun pasir). Namun
ketika dirasakan rute ini sudah mulai tidak aman, maka para pedagang dan
saudagar itu mencari jalur alternatif, yaitu melalui jalur pelayaran. Dan
sungguh alternatif yang sangat bagus, karena melalui jalur ini, mereka bisa lebih
cepat menempuh perjalanan, dan barang dagangannyapun lebih cepat terjual karena
lapangan perniagaan mereka yang melalui rute ini mayoritasnya daerah pesisir.
Banyak literatur mencatat, bahwa sejak
abad X pun, perdagangan maritim telah ada. Akan tetapi perdagangan jalur laut
ini mengalami masa keramaiannya pada abad XIII. Selain para pedagang-pedagang
asing yang membawa barang dagangan, komoditas perdagangan yang ada di Asia
Tenggara pun ternyata menjadi faktor penting ramainya perdagangan ini.
Abad XIII Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam. Pendapat ini berdasarkan catatan
perjalanan Marco Polo, seorang pengembara dari Italia, yang menerangkan bahwa ia pernah
singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah
menganut agama Islam. Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah
ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang
berangka tahun 1297. Selain orang Arab, Cina, India dan Persia,
perniagaan maritim inipun diramaikan oleh orang-orang berkulit putih (orang
eropa).
- Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara melalui para pedagang dan saudagar yang
berlayar sampai ke pesisir Asia Tenggara, atau kita sebut saja bandar terbesar
pada waktu itu, yakni Bandar Malaka. Bandar merupakan tempat berlabuhnya kapal-kapal atau persinggahan
kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga
digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan.
Di
bandar-bandar inilah para pedagang beragama islam memperkenalkan islam kepada para pedagang lain
ataupun kepada penduduk setempat. Para pedagang didalam kota mempunyai
perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan
dari penguasa kota tersebut. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang
lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi
pembauran antar pedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan
penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat,
budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi
asimilasi melalui perkawinan.
Dalam
perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada
yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda
Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan
Tidore yang terletak
di Nusantara (Indonesia).
Jika Islam di wilayah kepulauan Nusantara mengalami revolusi keagamaan,
maka Islam di wilayah Asia Tenggara di daratan mengalami tandingan berat dari
Budhisme Theravada dan juga Khatolik. Meskipun demikian, Islam mencapai puncak
pengaruhnya di Champa Kampuchea dan Siam dalam paruh abad ke-17. Namun, berbeda
dengan di wilayah kepulauan, ketika Islam terus merambah ke Pedalaman,
Islam di daratan Asia Tenggara terkonsentrasi pada wilayah-wilayah perdagangan
di sekitar pelabuhan-pelabuhan.
- Peran Etnis Arab
Arab, tidak bisa kita nafikan memiliki kedekatan sendiri dengan dunia
Islam. Karena di Arablah Islam pertama kali lahir dan berkembang. Adapun
kegiatan perdagangan, sudah sejak lama mata pencaharian penduduk bangsa ini
adalah berdagang. Sehingga tidak mengherankan bila pada akhirnya bangsa ini
mampu menjadi bangsa yang berperadaban tinggi, karena kegiatan mereka yang
cenderung sering bergaul dengan orang-orang baru dan mengunjungi tempat-tempat
yang baru membuat wawasan mereka terbuka dan semakin luas.
Begitu pula dengan kedatangan bangsa ini ke Asia Tenggara. Jauh sebelum
perdagangan maritim di kenal, bangsa ini telah bisa sampai hingga ke negeri
tionghoa dengan melalui perjalanan darat atau yang lebih dikenal dengan nama
jalur sutera. Mereka berjalan berbulan-bulan lamanya menyusuri padang pasir
demi menuju tempat yang mereka tuju. Dan setelahnya jalur maritim dikenal,
akses mereka untuk mencapai daerah-daerah baru pun menjadi semakin mudah.
Apabila sebelumnya untuk menuju daratan Asia Tenggara mereka harus melalui
India terlebih dahulu, maka setelah jalur maritim dikenal, maka jarak dan waktu
yang mereka butuhkan untuk menempuhnyapun menjadi lebih sebentar.
Selain berdagang, mereka juga membawa misi keagamaan. Dan penduduk
setempatpun mudah untuk menerima ajaran baru yang mereka bawa ini, karena
mereka terkesan dengan para pedagang dan saudagar yang memiliki kehalusan budi
dan sopan santun baik dalam berucap maupun bertingkah laku. Hal itu pula yang
menyebabkan raja atau penduduk setempat bersedia menikahkan anak mereka dengan
pedagang atau saudagar Arab itu. Sehingga pada akhirnya, persebaran Islam di
Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya berlangsung tanpa halangan yang
berarti.
- Peran Etnis Cina
Catatan-catatan
dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah
berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah
yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia
dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Ramainya
interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak
sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang.
Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena angin musim yang berhembus
berpengaruh pula pada pelayaran, maka setiap tahunnya para pedagang akan
bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka.[2]
Selain itu, ternyata Cina jauh sebelum abad XIII telah melakukan
perdagangan maritim internasional dengan Asia Barat, yaitu tepatnya pada awal
abad V. Ini yang kemudian menyulitkan bangsa Indonesia memasarkan hasil
daerahnya di Cina. Karena mereka harus bersaing dengan bangsa Asia Barat. Cina bagian selatan pada masa itu
memang sudah menjadi pasar yang baik untuk perdagangan dari luar. Salah satu ciri dari suatu perdagangan
adalah adanya persaingan antar penjual yang satu dengan penjual yang lain.
Begitupun yang terjadi antara bangsa Indonesia dan Asia Barat, Asia Barat
sempat menutup masuknya pedagang dari wilayah Indonesia ke Cina. Indonesia pada
waktu itu harus dapat mengimbangi barang-barang yang dibawa oleh bangsa Asia
Barat ke Cina, alasannya adalah karena Cina memberi nilai tinggi atas
barang-barang yang dipasarkan Asia Barat, sehingga untuk dapat mengimbangi
keadaan itu Indonesia harus dapat menyamai kedudukan barang-barang dalam
penilaian orang Cina.[3]
Namun, karena Indonesia mempunyai kekayaan alam yang baik, tidak mustahil
untuk dapat mengimbangi barang-barang yang dibawa Asia Barat. Seperti bahan
wangi-wangian dari Asia Barat dapat disaingi dengan bahan yang dihasilkan
Indonesia.(sej
nasional II) Misalnya
berbagai jenis kemenyan dan kayu harum seperti cendana. Demikian pula hasil
rempah-rempah akhirnya lambat laun memasuki pasar Cina Selatan. Ditambah pula
dengan berbagai hasil kerajinan dan binatang yang hanya terdapat di Indonesia.[4]
Akibat dari hubungan dagang ini kemudian islam menyebar ke China sejak awal dinasti Tang, pada abad ke-7 oleh para
pedagang Arab
dan Persia, melalui jalur sutera dan jalan keramik. Pedagang-pedagang Arab dan Persia tersebut disebut oleh
orang China dengan sebutan hushang
(pedagang asing). Ruang lingkup mereka dibatasi oleh orang-orang asli China, yaitu mereka harus tinggal di fanfang
(tempat tinggal sementara).
Selanjutnya islam berkembang pesat saat Mongol berkuasa di China. Migrasi
besar-besaran muslim dari asia tengah dan asia barat ke China mengakibatkan perubahan signifikan
pada situasi politik dan sosial China. Ruang lingkup muslim di China yang tadinya sangat terbatas, dibawah kekuasaan
mongol, mereka seperti mendapatkan angin segar, kaum muslim mendapatkan posisi yang sama dengan
warga China pada umumnya, dan sudah
dianggap sebagai warga China. Bahkan ada sebagian muslim yang sudah duduk di kursi
pemerintahan China
bersamaan dengan kekuasaan Mongol.
Bangsa
Mongol dan komunitas Hui-hui dari
asia barat dan asia tengah memperkenalkan ilmu dan teknologi islam di China, banyak ilmu pengetahuan yang
di impor ke china, seperti ilmu matematika, astronomi, arsitektur, dan lain
lain. Juga saat itu telah banyak ditemukan bangunan masjid di China yang didirikan oleh komunitas Hui-hui. Sehingga saat
itu China mempunyai peradaban yang maju.
- Peran Etnis India
Sama halnya dengan bangsa Arab, India juga mempunyai peranan yang amat
penting dalam melakukan islamisasi di Asia Tenggara. Dan salah satu negara yang
membawa masuk islam ke Nusantara pertama kali ialah India. Pendapat ini pertama
kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan prancis
tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Batutah, ia
menyimpulkan bahwa orang-orang yang bermadzhab Syafii dari Gujarat dan Malabar
di India yang membawa islam ke Asia Tenggara. Ia mendukung teorinya ini dengan
melihat hubungan dagang yang dilakukan keduanya, yaitu Asia Tenggara dan India.
Ini lebih memungkinkan lagi islamisasi oleh bangsa India dilakukan dengan cara
berdagang.[5]
Ada alasan lain yang lebih faktual berkaitan dengan islamisasi di Nusantara
ini dilakukan oleh India (gujarat), yaitu ditemukannya inskripsi tertua islam
di Sumatra yang di dalamnya menggambarkan hubungan Sumatra dan Gujarat. India tentu berperan penting dalam
proses islamisasi di Asia Tenggara, walaupun memang pendapat tentang negara
mana yang pertama kali membawa islam ke Asia Tenggara ini masih belum mutlak,
artinya masih diperdebatkan, antara lain ada yang menyebutkan bahwa Arab-lah
yang pertama kali membawa islam ke Asia tenggara, pendapat ini dikemukakan oleh
Crawfurd (1820), meskipun ia menyebut adanya hubungan antara Arab dengan
orang-orang “Mohammedan” di India Timur.
Kemudian pendapat tersebut dikembangkan oleh Snouch Hurgronye, dan
dikembangkan lagi oleh Morrison pada 1951. Menunjuk tempat yang pasti di
India, ia menyatakan dari sanalah islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk pantai
Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang muslim dalam pelayaran
mereka menuju Nusantara.
- Peran Etnis Persia
Menurut Hoesen Djajadiningrat, islam masuk ke Nusantara dibawa oleh
orang-orang dari Persia, yang singgah terlebih dahulu di Gujarat pada abad
ke-13. Alasan yang mendasari datangnya islam dibawa oleh orang-orang Persia
ialah kemiripan kebudayaan di kalangan umat islam Indonesia dengan kebudayaan
yang ada di Persia. Seperti, penggunaan ejaan bahasa Iran dalam mengeja huruf
Arab, persamaan antara ajaran syaikh Siti Jenar dengan Al-Hallaj, dan
lain-lain. Sama dengan bangsa lain
yang melakukan islamisasi dengan cara berdagang, Persia pun memanfaatkan
hubungan dagang dengan Asia Tenggara sebagai media islamisasi.
Banyak dari kalangan sejarawan barat (Eropa) menyebut bahwa islam datang ke
Asia Tenggara pertama kali dibawa oleh para pedagang dan da’i dari
Gujarat (India), dan pada kesempatan yang lain mereka mengatakan da’i itu
berasal dari Persia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Persebaran Islam di Asia Tenggara
banyak melibatkan berbagai Negara yang terlibat dalam proses islamisasi seperti
India, Arab, Cina, dan Persia. Semua Negara memberikan pengaruh terhadap
islamisasi di Asia Tenggara dan hampir seluruhnya melakukannya dengan cara
berdagang, walaupun dalam perkembangannya kemudian dakwah islam itu ada yang melalui
cara perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan mungkin cara-cara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi,
2006, Renaisans Islam Asia Tenggara, Bandung: PT Rosda Karya.
Djoened
Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho, 1992, Sejarah Nasional
Indonesia II, Jakarta: Balai Pustaka.
Kadir, Abdul, 2010,
Chang Ho: penyebar islam dari Cina ke Nusanatara, Jakarta: Kompas.
Reid, Anthony,
1992, Asia Tengara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah
Angin, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
[1]
A. Reid, Asia Tengara Dalam Kurun Niaga
1450-1680, Jilid
1: Tanah di Bawah Angin, Jakarta, 1992, hal xvi.
[4]
Ibid. Hal 12
No comments:
Post a Comment