BOOK
REVIEW
Judul Buku :
Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat
Penulis
Buku : KH Abdurrahman Wahid
Penerbit
: Kompas, Jakarta, 2007
Halaman
: 167 Halaman
Abdurrahman
Wahid dilahirkan di Denayar, Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940 dan menjadi
Presiden Republik Indonesia periode 1999-2000. Beberapa penghargaan yang
diterimanya antara lain Doktor Honoris Causa dari Universitas Jawaharlal Nehru,
India; Doktor Honoris Causa Bidang Perdamaian dari Soka University Jepang
(2000), “Global Tolerance Award” dari Friends of the United Nations, New York
(2003), “World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan (2003),
serta Presiden World Headquarters on Non-Violense Peace Movement (2003).
Buku
ini merupakan asli tulisan Gus Dur sendiri dimana beliau menjawab berbagai
pertanyaan seputar kegelisahan Rakyat terhadap Negara Indonesia, dimana Sosok
beliau yang sangat terbuka terhadap siapa saja yang membutuhkan beliau dan
tidak memandang drajad dari kalangan bawah atau dari kalangan atas. Begitulah
sosok beliau yang sangat terbuka dengan siapa saja dan buku ini merupakan salah
satu jawaban dari Gus Dur untuk rakyat.
Didalam
Buku ini Gus Dur menjawab kegelisahan rakyat dengan adanya tantangan Zaman
serta ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahan pada saat ini. Sosok Gus Dur
menjawab dengan kritis dan rasional membuat sosok Beliau itu menjadi identitas
bahwa Gus Dur adalah sosok figur yang sangat kharisma dan sangat mengayomi
terhadap masyarakat.
Sosok
Gus Dur sendiri mempunyai kelebihan dalam bertutur kata. Beliau sangat cerdas,
cerdik dan kocak beliau juga hobi menulis. Dalam hasil tulisanya diantaranya buku
ini, beliau mengangkat sebuah judul Menjawab Kegelisahan Rakyat dimana beliau
mengangkat persoalan-persoalan yang menggerakan perhatian banyak orang karena
memang aktual dipermasalahkan dan dirasakan. Dalam tutur katanya beliau
mencerminkan sikap dasarnya, seperti Indonesia yang beragama, Indonesia yang
kemanusiaan, yang Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia yang Pancasila, Indonesia
yang beragama, Indonesia yang berkemanusiaan, yang berkeadilan sosial serta
yang demokratis, begitulan sikap beliau terhadap Negara ini.
Beliau merasakan kegelisahan
terhadap masyarakat. Pada bagian pertama dalam buku ini membahas tentang Negara
Islam Adakah konsepnya? Dari Gus Dur memandang negara ini dengan Agama dan
Kekuasaan maka beliau sangat merasa tertarik untuk memberikan komentar tentang
hal itu. Dalam bagian ini beliau menjawab tentang konsep Negara islam
Pertanyaan pertama sangat menarik untuk diketahui jawabanya, yaitu apakah
sebenarnya ada konsep tentang negara Islam ? begitulah sekiranya pertanyaan
yang ada dikalangan rakyat kita saat ini. Rakyat tentu bertanya tentang konsep
negara islam, karena beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran
tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan
pemikiran itu, telah meninggalkan Islam. Gus Dur menjawab pertanyaan itu Tidak
Ada. Beliau beranggapan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syariah) tidak
memiliki konsep yang jelas tentang negara. Jawaban dari Gus Dur mengenai tidak
adanya konsep Negara Islam karena selama ini beliau mencari tentang konsep itu
tidak diketemukanya beliau juga mencari di Negara Islam sendiri tetapi tidak
ditemukan mengenai konsep sebuah negara Islam tersebut.
Pada tema yang kedua
membahas Islam dalam bentuk perlawanan Disini Gus Dur menilai K.H.A Mutamakin
untuk menjadikan sebagai bahan rujukan dan respon terhadap perlawanan islam dan
terhadap negara. Dalam agama Islam diperkenalkan pendekatan yang sama sekali
lain. Beliau memunculkan paham alternatif atas kelaliman penguasa, namun tidak
memberi perlawanan secara terbuka. Pada jawaban ini dirujukan pada masa
pemerintahan orde Baru yang kita tahu bahwa pada pemerintahan tersebut di
kuasai oleh seorang yng begitu memimpin dengan tangan keras.
Selanjutnya membahas
tentang Islam Agama Populer atau Elitis karena di negeri kita juga berkembang
kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap memandang rendah
tradisionalisme, yang dibawakan agama. Namun ada persamaan antara pandangan
elitis anti tradisionalisme. Dengan revitalisai tradisionalisme agama amat
diperlukan, dalam bentuk memasukan unsur-unsur rasional dapat dirasakan sebagai
kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat
jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Disinilah terletak
tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang
berjumlah lebih ari 170 juta jiwa.
Pada bagian kedua
menjawab tentang Kepemimpinan, dalam bagian ini ada beberapa jawaban tentang
bagaimana TNI dan Demokratisasi berbicara mengenai TNI dan Demokratisasi, kita
tahu selama lebih dari 30 tahun, TNI pernah berkuasa dinegeri ini. Memandang
peran TNI dalam politik amat diperlukanguna kelangsungan hidup bangsa ini.
Namun, kenyataanya peran seperti itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur
serta hierarki TNI sendiri, yang bertopang atas ketundukan mutlak kepada kepada
atasan, tidak kemungkinan TNI berperan demokratis tanpa kehadiran sipil dalam
pengendalian keadaan. Karena itu, demokratisasi sendiri harus dilakukan bangsa
ini bersama, termasuk ditopang kemauan TNI sebagai institusi.
Kemudian pada
pembahasan selanjutnya mengenai PKB, TNI dan Pembelajaran dalam pembicaran ini
banyak membahas mengenai Praktik demokratisasi dalam lingkungan PKB dapat
ditransformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi dalam lingkungan
lebih luas, yaitu dilingkungan bangsa dan negara kita. Bila hal ini terus
berlangsung, berarti demokrasi akan hidup dinegeri kita, selama para pemilik
negeri ini memberi suara mayoritas
kepada partai politik yang melaksanankan demokratisasi itu.
Selanjutnya
membicarakan mengenai Pemilu demokrasi dan kejujuran TNI Selama kebersihan dan
kejujuran pelaksanaan pemilu dirasakan masyarakat, dan sengaja ditanyakan
kepada rakyat yang menghadiri aneka pertemuan umum, jika mereka menjawab
positif berarti kejujuran pemilu dapat dijamin. Persoalanya bagaimana
menghindari kecurangan dan manipulasi penghitungan suara. Pencatatan hasil
penghitungan suara amat menentukan. Disinilah peran warga TNI, memimpin dan
melaksanakan perhitungan suara dengan tepat dan melaporkannya kepada badan yang
adil dan dipercaya oleh dunia internasional.
Pada bagian terakhir
dimana beliau membahas Moral Dan Spiritual disini beliau menjawab sejumlah
pertanyaan tentang Nasionalisme Tasawuf dan Demokrasi didalam negara Indonesia
banyak sekali gerakan islam yang berkembang, kemudian Gerakan islam itu pada
mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini terlihat antara lain, dalam
kenyataan bahwa gerakan Islam telah sampai kepada keberhentian tuntutan negara
islam, atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara formal dalam ideologi
negara. Perjuangan ini dinegara kita telah berakhir pada kebuntuan yang
ditimbulkan oleh berhentinya piagam jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945.
Keadilan dan Rekonsiliasi pada tema ini
membahas mengenai Keadilan dan Rekonsiliasi begitu banyak rahasia yang
menyelimuti masa lampau kita sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak
dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Maka dari sini
diperlukanlah kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam
persepektif prikemanusiaan, bukannya secara idologis saja, maka sudah tentu
akan sangat mudah bagi kita untuk menggangap diri sendiri benar dan orang lain
bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat kehidupan bangsa kita yang demikian
yang beragam. Kebhenikaan atau keragaman justru menunjukan kekayaan kita yang
sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut
yang masih menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Kemudian membahas
Identitas Diri di Masa Transisi dalam pembahasan ini Gus Dur memberikan cerita
tentang gairah pemilu pada tahun itu sangat rendah sekali, hanya sekitar 10
pesen dari jumlah pemilih yang ada. Hal itu karean para calon pemilih dibuat
merasa tidak ada artinya berpemilu kali ini. Tentu saja hal ini berbahaya,
tetapi akan lebih berbahaya membiarkan proses demokrasi yang digagalkan oleh
KPU, yang melanggar UU No 23/1992 dan UU 4/ 1997.
Alasan Memilih Buku : pada awalnya saya
tertarik dari segi bukunya yang tipis dan menarik dimana ketika saya membaca judul
mengenai “Menjawab Kegelisahan Rakyat” saya merasa ini sangat menarik sekali
untuk saya kaji dan pelajari isi buku dan kandungan yang tercantum dalam buku
ini. Kemudian saya memilih buku ini karena buku ini juga merupakan hasil karya asli
tulisan beliau dan rasa ingin tahu saya untuk mengetahui pendapat bagaimana
sosok Gus Dur menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat. Disinalah
menariknya dari buku ini sosok Gus Dur tidak diragukan lagi bahwa beliau sangat
mengayomi terhadap siapa saja tanpa memandang dari kalangan mana mereka berasal
serta dari agama apa mereka. Buku tentang Gus Dur selalu menarik untuk dibaca
karena sosok beliau yang humoris dan cerdas membuat tertarik untuk dibaca.
Kemudian dari segi fisik buku ini sangat mudah dipahami, tipis dan menarik
untuk dibaca. Kemudian beliau sangat berkebangsaan, kritis, dan rasional telah
menjadi semacam identitas bagi K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tulisan
dan kiprahnya di berbagai forum menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Bagi Gus
Dur, ajaran agama itu sebagai sumber inspirasi orang beragama dan bernegara.
Karena itu, Islam tidak memiliki konsep negara. Tanggapan Beliau soal
upaya-upaya mencopotnya dari jabatan presiden. Juga pandangan kritisnya perihal
keterlibatan militer dalam proses politik. Buku ini bermanfaat bagi siapa saja
yang ingin mengenal pemikiran Gus Dur secara mudah dipahami. Mulai dari
persoalan hubungan agama dan negara, kepemimpinan, peran militer dalam politik.
Kelebihan Buku Ini : setelah saya
memahami dan membaca buku ini saya melihat sosok Gus Dur yang begitu arif dan
bijaksana dalam menjawab dan menjelaskan di setiap pertanyaan yang dilontarkan
kepada beliau. Kemudian kelebihan lainya diantaranya dalam buku ini
mengambarkan bagiamana sosok Gus Dur menjawab kegelisahan rakyat dengan
menjelaskan secara gamblang, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan di kaji
atas jawaban yang diberikan Gus Dur kepada rakyat yang gelisah dengan negara
kita ini. Dengan buku hasil tulisan beliau sendiri sangat menarik sekali untuk
kita ketahui hasil pemikiran beliau dan tangapan beliau terhadap negara ini.
Kelemahan Buku ini : tetapi setelah di
baca lebih lanjut ada juga kekurangan yang menurut saya itu sangat membuat saya
sedikit tidak tahu mengenai bahasa yang begitu tinggi dan banyak menjadikan
jawaban beliau di contohkan terhadap orang lain, dan tidak langsung dari
jawaban beliau langsung. Dalam buku ini juga begitu sangat singkat sekali
jawaban dari berbagai pertanyaan. Dan buku ini terlalu tipis sehingga memuat
sedikit sekali jawaban pertanyaan yang ada. Sedikit mengeritik tentang
BOOK
SUMERRY
GUS
DUR MENJAWAB KEGELISAHAN RAKYAT
BAB
I
AGAMA
DAN KEKUASAAN
Pertanyaan pertama
sangat menarik untuk diketahui jawabanya, yaitu apakah sebenarnya ada konsep
tentang negara Islam ? begitulah
sekiranya pertanyaan yang ada dikalangan rakyat kita saat ini. Rakyat tentu
bertanya tentang konsep negara islam, karena beberapa tahun terakhir ini banyak
diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang
tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam. Gus Dur menjawab
pertanyaan itu Tidak Ada. Beliau beranggapan bahwa Islam sebagai jalan hidup
(syariah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Jawaban dari Gus Dur
mengenai tidak adanya konsep Negara Islam karena slama ini beliau mencari
tentang konsep itu tidak diketemukanya beliau juga mencari di Negara Islam
sendiri tetapi tidak ditemukan.
Kemudian dasar yang
paling utama itu tidak dapat ditemukan jawban yang baku dari dunia islam. Jika
kita menilik dari zaman ketika wafatnya Rasulullah yang telah meninggalkan
kepemimpinan kemudian disitu ada pergantian dimana yang diangkat Sayyidina Abu
Bakar setelah 3 hari wafatnya Rasulullah. Kemmudian ketika Sayyidina Abu Bakar
wafat kemudian Umar bin Khatab ditunjuk untuk menggantikan kepemimpinan yang
ditingalkanya. Dalam artian ini berarti bahwa telah ditempuh cara penunjukan
pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Dengan penunjukan ini tentu sama
dengan penunjukan seorang Wakil Presiden di masa moderen ini, yang menyiapkan
diri untuk mengisi jabatan itu jika berpindah ketanganya.
Demikian pula
besarnya negara yang dikonsepkan menurut islam, juga tidak jelas ukuranya. Nabi
meninggalkan Madinah tanpa da kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum
muslimin. Kemudian dimasa Umar bin Khatab, Islam adalah imperium Dunia dari
pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan apakah
sebuah negara islam berukuran mendunia., sebuah bangsa aja (wawasan etnis)
dengan demikian tidak jelas antara negara-bangsa, negara-kota, atau negara
sebagai sebuah bansa atau etnis saja.
Dengan demikian
jelas, gagasan Negara jelas, gagasan negara Islam adalalh sesuatu yang tidak
konseptual dan tidak diikuti mayoritas kaum muslimin. Dan hanya dipikirkan
sejumlah orang saja, yang memandang islam dari institusionalnya belaka.
Pada pertanyaan
selanjutnya mengenai Islam Apakah Bentuk Perlawanannya? Disini Gus Dur menilai
K.H.A Mutamakin untuk menjadikan sebagai bahan rujukan dan respon terhadap
perlawanan islam terhadap negara. Dalam agama Islam diperkenalkan pendekatan
yang sama sekali lain. Beliau memunculkan paham alternatif atas kelaliman
penguasa, namun tidak memberi perlawanan secara terbuka. Dengan demikian kita
lebih mengutamakan sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang
pemimpin wajib bertindak dan membiarkan para ulama sebagai alternatif kultural
dihadapan sang penguasa. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan
politis itu dapat ditegakkan proses demokrasi dinegeri kita. Sebagaimana
diketahui demokrasi hanyya dapat tegak bila dapat diupayakan berlakunya
kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara
dihadapan undang-undang.
Kemudian ada sebuah
pertanyaan tentang Agama Islam itu Agama Populer atau Agama Elitis? Di negeri
kita juga berkembang kemunculan kelompok nasionalis, namun tidak dengan sikap
memandang rendah tradisionalisme, yang dibawakan agama. Namun ada persamaan
antara pandangan elitis anti tradisionalisme. Dengan revitalisai
tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam bentuk memasukan unsur-unsur
rasional dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang
diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelatayang mengembangkan
tradisionalisme agama populis. Disinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam
di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih ari 170 juta
jiwa. Masalahknya kini bagaimana mengembangkan modernisme agama dan
tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya
tidak bertabrakan secara praktis.
BAB II
KEPEMIMPINAN
Disini berbicara
mengenai TNI dan Demokratisasi, kita tahu selama lebih dari 30 tahun, TNI
pernah berkuasa dinegeri ini. Memandang peran TNI dalam politik amat
diperlukanguna kelangsungan hidup bangsa ini. Namun, kenyataanya peran seperti
itu tidak akan pernah bisa. Karena struktur serta hierarki TNI sendiri, yang
bertopang atas ketundukan mutlak kepada kepada atasan, tidak kemungkinan TNI
berperan demokratis tanpa kehadiran sipil dalam pengendalian keadaan. Karena
itu, demokratisasi sendiri harus dilakukan bangsa ini bersama, termasuk
ditopang kemauan TNI sebagai institusi. Menurut seorang purnawirawan perwir
tinggi TNI, ada beberapa doktrin yang dikembangkan TNI yang memerlukan koreksi
karena didalamnya ada dominasi kaum militer yang beranggapan mereka lebih baik daripada pihak
sipil. Ini jelas merupakan pandangan individual karena TNI sendiri sebagai
institusi telah menerima dihapusnya Fraksi
TNI-Polri dari DPR tahun 2004 dan dari
MPR tahun 2009 karena mereka harus tunduk kepada UUD 1945, yang tidak
membeda-bedakan golongan mana pun, maka dengan sendirinya sebagai institusi
mereka harus tunduk kepada proses demokratisasi. Impian beberapa perwira tinggi
TNI untuk berkuasa sendiri tidak perlu dikhawatirkan. Pandangan ini adalah
pemikiran ideal yang harus dilihat bagaimana pelaksanaan dalam kenyataannya.
Kemudian PKB, TNI,
dan Pembelajaran Demokrasi. Praktik demokratisasi dalam lingkungan PKB dapat
ditransformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi dalam lingkungan
lebih luas, yaitu dilingkungan bangsa dan negara kita. Bila hal ini terus
berlangsung, berarti demokrasi akan hidup dinegeri kita, selama para pemilik
negeri ini memberi suara mayoritas
kepada partai politik yang melaksanankan demokratisasi itu.
Hubungan antara PKB
dengan TNI karena munculnya TNI selalu bertindak politis. Mereka menggunakan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan yang sebenarnya
bertentangan dengan UUD 1945. Sekarangpun masih ada yang demikian dalam
pemerintahan kita, namun semakin hari semakin tumbuh kekuatan warga TNI ingin
mengokohkan staus quo. Mereka yang berjiwa militeristik itulah yang harus kita
tantang, bukan seluruh orang-orang miiter.
Dalam negara kita
ini banyak hal yang harus dibenahi dalam kehidupan termasuk di kalangan warga
TNI sendiri. Akan tetapi, di sisni kita harus membedakan mana yang merupakan
hal-hal teknis dan mana yang memerlukan keputusan politis. Keputusan untuk
menyertakan warga TNI dalam pemilu, diluar masalah keamanan dan pertahanan,
adalah keputusan politik yang harus diambil bersama. Hal-hal politis seperti
itu harus diputuskan bersama. Bila tidak, akan membuka “peluang” bagi mereka
yang berpikiran militeristik untuk mengembakan stasus quo pemerintahan kita.
Kemudian ada lagi
tangapan mengenai Pemilu, Demokrasi dan Kejujuran TNI dalam pertanyaan ini Gus Dur mengambil jawaban
dari artikel “PKB, TNI dan Pembelajaran Demokrasi” dalam artikel ini masih
memunculkan berbagai reaksi. Ada yang setuju dan ada yang tidak dengan keadaan
yang diperkirakan penulis. Yang mengherankan Justru reaksi yang tidak setuju
justru kecil sekali jumlahnya. Penulis menilai, ini menunjukan amat sedikit
intelektual dan pengamat yang memiliki atau menerbitkan reaksi tulis atas
keadaan yang berkembang saat ini, dan amat sedikit alternatif yang tersedia.
Dengan demikian, opsi dari alternatif yang dinyatakan pun menjadi amat sedikit.
Dari kebisuaan ini menimbulkan pemikiran, diperlukanya pemerintah alternatif
total menjadi lebih besar daripada dulu. Dalam bahasa kasar, alternatif total
adalah pengambil alihan kekuasaan pemerintahan oleh mereka yang takut ada
revolusi sosial/konflik horizontal (seperti penjarahan massa). Kemudian yang
tidak setuju dengan revolusi sosial adalah TNI, para pengusaha keturunan
Tionghoa, keturunan India, dan sebagian birokrat. Saat ditanya seorang teman,
penulis menjawab, ia pun tidak menyukai pengabil alihan/pemindahan kekuasaan
karena sifatnya inkonstitusional.
Tindakan mengambil
alih kekuasaan itu harus dibaca sebagai “keadaan terpaksa” sebagai alternatif
terbaik dari keadan terburuk (akhafudh al dhararain), yaitu jalan terakhir
menyelamatkan demokrasi yang sebenarnya. Karena penundaan pemilu (legislatif
maupun presiden) adalah sesuatu yang dapat menggagalkan upaya demokratisasi.
Ini sudah kita rasakan saat terjadi
pelengseran kepresidenan tahun 2001 secara tidak konstitusional. Jadi, bila
ditilik secara jujur, pengambilalihan kekuasaan saat ini belum tentu merupakan
tindakan inkonstitusional melanggar Undang-Undang Dasar. Untuk memperoleh
dukungan massa guna menjamin terlaksananya pemilu pada waktunya, diperlukan
pendekatan pada salah satu atau lebih partai politik yang ada. Komunikasi
terbuka dengan masyarakat pun diperlukan.
Selama kebersihan
dan kejujuran pelaksanaan pemilu dirasakan masyarakat, dan sengaja ditanyakan
kepada rakyat yang menghadiri aneka pertemuan umum, jika mereka menjawab
positif berarti kejujuran pemilu dapat dijamin. Persoalanya bagaimana
menghindari kecurangan dan manipulasi penghitungan suara. Pencatatan hasil
penghitungan suara amat menentukan. Disinilah peran warga TNI, memimpin dan
melaksanakan perhitungan suara dengan tepat dan melaporkannya kepadabadan yang
adil dan dipercaya dunia internasional.
BAB III
MORAL DAN SPIRITUAL
Gus Dur membahas
mengenai Nasionalisme, Tasawuf, dan Demokratisasi, disini membahas bagian yang
mengupas kaitan antara demokratisasi dan islam disatu pihak, dan antara
Kebatinan/Kejawen dan demokratisasi di pihak lain. Kini, yang tampak hanyalah
bisingnya masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pergesekan antara demokrasi
dan dan islam, yang mungkin ditimbulkan karena kebisingan internal dalam pemikiran
internal sendiri.
Gerakan islam itu
pada mulanya tampak telah mencapai kebuntuan. Ini terlihat antara lain, dalam
kenyataan bahwa gerakan Islam telah sampai kepada keberhentian tuntutan negara
islam, atau tuntutan pelaksanaan ajaran Islam secara formal dalam ideologi
negara. Perjuangan ini dinegara kita telah berakhir pada kebuntuan yang
ditimbulkan oleh berhentinya piagam jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dengan demikian, seluruh gerakan Islam di Indonesia mengacu pada Pancasila
sebagai ideologi negara. Namun, dalam kenyataannya, justru upaya menyelaraskan
syariat Islam pada pancasila memberikan nafas baru dalam dialog antara Islam
dan ideologi tersebut. NU umpamanya, dalam salah satu muktamarnya, setelah
tahun 1971 di Surabaya, ternyata merumuskan Islam sebagai moralitas pendidikan
dan ajaran agama.
Dengan demikian, NU
tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya. Hal
ini tenntu tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam
kiprahnya. Hal ini, tent saja tidak dapat diterima oleh gerakan gerakan lain
dalam Islam di negeri ini. Mereka memiliki pengertian masing masing mengenai
hubungan antara Pancasila dan Islam. Diantara mereka bahkan ada pendapat bahwa
Islam haruslah terkait dengan politik
dan ideologi. Kalau Islam tidak menyangkut ideologi maka gerakan ini
bukanlah gerakan Islam. Ini berarti formalisasi ajaran agama dalam kehidupan
bernegara. Dalam hal ini persoalan utamanya adalah bagaimana membuat Islam
memperjuangkan demokrasi dalam rangka pengembangan paham warga negara untuk
mengembangkan demokrasi.
Negara haruslah
melayani semua pihak, karenanya Islam tidak perlu di formalkan dalam kehidupan
bernegara. Cukup apabila para warga negaranya memperjuangkan sumbangan dan
peranan Islam secara informal dalam penegmbangan demokrasi. Hal inilah yang
dilakukan penulis sebagai ketua umum NU selama hampir dua puluh tahun lamanya.
Sebaliknya ada pula pandangan bahwa bIslam harus diformalkan dalam kehidupan
bernegara. Ini berarti pancasila haruslah diberi arti formal Islam, hingga ia
tidak dapatdibelokan oleh unsur apapun ke arah lain. Tetapi, ini berarti pula
bahwa demokrasi dalam artiannya yang murni tidaklah harus dirumuskan. Ia harus
mengalah dan menjadi diam manakala berhadapan dengan Hukum Islam. Ini dapat
dicontohkan sebagai berikut.
Menurut pandangan
pertama, orang yang mengubah hukum Islam menegenai kemurtadan yang patut
dihukum mati. Dalam pandangan pertama ini anggapan formal Islam tentang
berpindah agama dari Islam ke gama lain adalah suatu hal yang harus dihormati
sesuai dengan deklarasi universal hak hak asasi manusia. Dalam pandanag kedua,
justru hukum Islam formal mengenai perpindahan agama ini harus dipertahankan
jkalau perlu dengan menolak sebagian dari Deklarasi Universal tersebut. Dalam pandangan
kedua ini, Al-Maududi menolak kehadiran nasionalisme dalam pemikiran Islam
karena ia adalah produk Barat dan tidak berasal dari lingkungan sendiri. Kalau
kita konsekuen dengan ke Islaman kita, dalam pandanagan ini maka tidak ada
kemungkinan bagi Islam untuk menerima Nasionalisme. Tentu pandangan ekstrim ini
tidak mencangkup pandangan pandangan Islam di negeri ini. Karena Islam di
negeri ini tidak pernah menolak gerakan nasionalisme. Tetapi setidaknya tentu
ada banyak kecurigaan terhada pham tersebut di sementara kalangan atas gerakan
gerakan Islam di negeri ini.
Disinilah nantinya
terletak peranan tasawuf sebagai jembatan yang menengahi kedua paham Islam dan
nasionalisme itu. Ini dalam artian seseorang yang mengubah hukum Islam di atas
tentang kemurtadan, tetapi tetap menjadi Muslim melalui sikap tasawuf, dan ini
berarti pula peluang berteori tentang hubungan Islam dan nasionalisme dalam
kaitan hidup bernegara disamping praktik kehidupan untuk tidak
mempersoalkannya. Disinilah sebenarnya terletak pertannyaan kepada gerakan
nasionalisme di negeri ini.
Dalam Keadilan dan
Rekonsiliasi begitu banyak rahasia yang menyelimuti mesa lampau kita sehingga
tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar
dan orang lain salah. Maka darisini diperlukanlah kerendahan hati untuk melihat
semua yang terjadi itu dalam persepektif perikemanusiaan, bukannya secara
idologis saja, maka sudah tentu akan sangat udah bagi kita untuk menggangap
diri sendiri benar dan orang lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakikat
kehidupan bangsa kita yang demikian yang beragam. Kebhenikaan atau keragaman
justru menunjukan kekayaan kita yang sangat besar. Karena itu, kita tidak boleh
menyalahkan siapa-siap atas kemelut yang masih menghinggapi kehidupan bangsa
kita saat ini.
Hal hal seperti
inilah yang masih banyak terjadi atau terdapat di negeri kita selama ini.
Karenanya, kita masih harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima
kehadiran pihak-pihak lain yang tidak
sepaham dengan kita. Termasuk didalamnya orang-orang mantan narapidana politik
(napol) dan tahanan politik (tapol) PKI, yang kebanyakan bukan orang yang
benar-benar memahami betul ideologi mereka itu.
Gus Dur juga
menanggapi bahwa orang-orang mantan PKI itu sekarang sedang mencari Tuhan dalam
kehidupan mereka, karena apa yang saat ini mereka anggap sebagai
“kezaliman-kezaliman”, justru pernah mereka lakukan saat “berkuasa”. Sekarang
mereka berpegang pada keyakinan yang mereka miliki yang tidak bertentangan
dengan undang-undang dasar.
Dari uraian uraian
diatas, bahwa yang kita perlukan adalah sebuah rekonsiliasi nasinoal, setelah
pengadilan memberikan keputusan “yang adil” bagi semua pihak. Jadi, pengertian
dari rekonsiliasi yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan
tuntas, oleh pihak pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat dicari.
Disinilah letak keadilan yang harus ditegakkan di BumiNusantara. Sebuah tekad
untuk memeriksa kasus-kasus yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima
belas tahun terakhir ini, 40-50 tahun yang lalu. Baru kemudian diumumkan
pengampunan setelah vonis pengadilan dikeluarkan.
Kemudian membahas
Identitas Diri di Masa Transisi dalam pembahasan ini Gus Dur memberikan cerita
tentang gairah pemilu pada tahun itu sangat rendah sekali, hanya sekitar 10
pesen dari jumlah pemilih yang ada. Hal itu karean para calon pemilih dibuat
merasa tidak ada artinya berpemilu kali ini. Tentu saja hal ini berbahaya,
tetapi akan lebih berbahaya membiarkan proses demokrasi yang digagalkan oleh
KPU, yang melanggar UU No 23/1992 dan UU 4/ 1997. Bahwa KPU melakukan
pelanggaran hukum, sedangkan lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, dan seluruh pengadilan tidak membela undang-undang. Jadi, memang
sudah waktunya sistem politik kita harus diganti. Justru dengan penggantian
politik ini untuk menggagalkan sikap pihak-pihak yang, melangar hukum
pemelihara status quo yang bergabung di belakang KPU itu harus melalui proses
demokraisasi. Kalau di negeri ini masih ada orang yang berani memimpin
perjuangan menegagkan demokrasi, maka rakyat banyak akan melihat masih ada
harapan paling tidak untuk memelihara kebebasan berbicara dan sebagainya.