MAKALAH
PENULISAN SEJARAH OLEH SARTONO
KARTODIRDJO
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Historiografi
Di
Ajukan Kepada : Herawati, S.Ag., M.Ag
Oleh :
1.
Ahmad
Khoirudin Sibarani (11120005)
2.
Miss
Hanan Beuraheng (11120026)
3.
Miss
Asma Waekaji (11120033)
4.
Wahyu
Kurniawan (11120019)
5.
Rizka
Kusuma Rahmawati (11120080)
6.
Muhamadi
(11120093)
JURUSAN
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS
ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melanjutkan
pembahasan minggu kemarin tentang Historiografi Indonesia modern, pada
kesempatan kali ini pemakalah menyajikan Penulisan Historiografi Sartono
Kartodirdjo yang didalam pemikiran beliau lebih mengedepankan arti pentingya
Sejarah Nasional Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa ini, beliau sebagai
orang Indonesia menginginkan penulisan sejarah haruslah Indonesiasentris jangan
hanya terpaku pada bentuk penulisan Nederlansentris semata. Dalam pandangan
beliau sejarah juga perlu dikaji dari peran orang-orang kecil yang ada di
Indonesia misalnya saja petani, dari para petani inilah yang sejatinya memiliki
andil besar dalam sejarah Indonesia, maka dari itu Sartono Kartodirdjo
menuliskan karyanya yang sangat dikenal yaitu “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Selanjutnya, pemakalah akan memaparkannya dalam bab pembahasan.
B. Rumusan Makalah
1. Bagaimana
biografi dari tokoh Sartono Kartodirdjo?
2. Bagaimana
perkembangan Historiografi Indonesia Modern ?
3. Pendekatan
apa yang digunakan Sartono Kartodirdjo dalam menulis buku sejarah Pemberontakan
Petani Banten?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Sartono Kartodirdjo
Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo adalah sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam
penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi. Sebelum menjadi guru, Sartono Kartodirdjo menyelesaikan pendidikan di HIS, Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) Sekolah Menengah
Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia dan HIK.
Saat bersekolah di HIK (Sekolah Calon Bruder), Sartono Kartodirdjo lahir di
Wonogiri, 15 Februari 1912. Saat usianya 44 tahun, Sartono menyelesaikan
pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Setamat dari Universitas Indonesia pada tahun 1957, Kartodirdjo mengajar
di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.[1] Setelah lima tahun mengajar di Jurusan tersebut, lalu beliau melanjutkan pendidikan Master Degree di
Universitas Yale, Amerika Serikat, sebelumnya ia mengajar di Universitas Gajah
Mada Yogyakarta dan IKIP Bandung. Sartono Kartodirdjo lulus pada tahun 1964 dan
melanjutkan pendidikan doktornya dua tahun kemudian.[2]
Beliau pernah menjadi Ketua Umum Seminar Sejarah Nasional II pada tahun 1970.
Presiden International Conferensi Of International Asosiation For Historians Of
Asia (IAHA) Tahun 1971 – 1974. Koordinator Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I
1958. Ikut aktif dalam konferensi – konferensi IAHA di Singapura 1961.[3]
Pada tahun
1968, Sartono dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions,
Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang ia buat
untuk meraih gelar doktornya, dari karya inilah yang akhirnya dinilai banyak
orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Ia menganggap
bahwa disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia
yang konvensional dan Neerlandosenteris. Dalam disertasinya tersebut ia mencoba
mengubah pandangan dengan keberanian dari gerakan sosial yang dilakukan oleh
petani untuk melawan ketidakadilan. Sebagai sejarawan generasi pertama, Sartono
telah melahirkan banyak murid yang menjadi benang merah penyambung
gagasan-gagasan yang sering ia lontarkan.
Pada tanggal
7 Desember 2007 Sartono menghembuskan napas terakhir di RS Panti Rapih, Yogyakarta
dalam usia 87 tahun. Sepanjang hidupnya, ia tak hanya memberikan contoh dan
teladan sebagai sejarawan Indonesia tapi juga memberikan inspirasi dan
pemikiran bagi kehidupan bangsa. Dalam sebuah kutipan, Sartono mengungkapkan
bahwa ilmu sejarah bukan sekedar narasi. Tidak hanya kisah-kisah serba
menyenangkan. Karena itu pendekatannya jangan selalu dari ilmu sejarah, tetapi
harus memanfaatkan bantuan ilmu antropologi, sosiologi, serta disiplin
ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, karena menulis sejarah Indonesia, maka cara
pendekatannya memang harus Indonesiasentris dan jangan sampai terpesona dengan
aneka ragam kisah raja-raja atau orang besar. Sebab rakyat, petani, dan wong
cilik juga punya peran sangat bermakna yang juga ikut membentuk sejarah.[4]
B.
Perkembangan
Historiografi Indonesia Modern
Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia, banyak ditulis oleh bangsa
Indonesia sendiri, walaupun tidak sedikit karya-karya sejarah ditulis oleh
orang yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Dalam hal ini Taufik
Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasi penulisan sejarah di
Indonesia menjadi 3 jenis (Taufik Abdullah, 1985 : 27-29). Pertama jenis
“sejarah ideologis”, yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif
dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan masa
lampau, tetapi demi lambang yang bisa diadakannya untuk masa kini. Contoh
penulisan sejarah dalam jenis pertama ini seperti Mohammad Yamin mengenai
sejarah kuno Indonesia, Ruslan Abdul Gani mengenai sejarah pergerakan nasional
dan Nugroho Notosusanto mengenai sejarah militer Indonesia.
Jenis kedua yaitu “Sejarah Pewarisan”. Ciri utama penulisannya adalah kisah
kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari
karya-karya semacam ini adalah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang
hambatan-hambatan serta menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai
kemerdekaan. Contoh penulisan seperti ini ialah buku “Sekitar Perang
Kemerdekaan” (11 jilid), yang ditulis oleh Abdul Haris Nasution (Jenderal
Purnawirawan).
Jenis ketiga adalah “Sejarah Akademik”. Penulisan semacam ini tidak
bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas
mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Tulisan semacam ini
tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat
struktural, cenderung “holistik”. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi,
antropologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Contoh penulisan
sejarah semacam ini adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang “Pemberontakan
Petani Banten 1888”, Soemarsaid Moertono tentang “Negara dan Pemerintahan masa
Jawa Lama (1968)”, Harsya Bachtiar mengenai “Nation Indonesia”, Deliar Noer
mengenai “Gerakan Modernisme Islam di Indonesia (1973)” dan disertasi Alfian
mengenai “Muhammadiyah di Masa Penjajahan (1970)”.[5]
C.
Pemberontakan
Petani Banten dan Pendekatan Metodelogi
Berbicara tentang dinamika rakyat pedesaan rasanya secara langsung
melancarkan kontradiksi terhadap presepsi stereotipik orang desa yang serba
statis, pasif, fatalistis, pendeknya sudah dikuasai oleh sindrom kemiskinan.[6]
Pandangan orang – orang kolonial Belanda pada masa penjajahan menggambarkan
bahwa orang Jawa identik dengan malas. Hasil penulisan sejarah pada golongan
petani menjelaskan bahwa permusuhan yang sering terjadi antara golongan petani
dengan pemerintah kolonial yaitu adanya permusuhan. Salah satu sikap yang
ditunjukkan dalam karya Pak Sartono Kartodirdjo yaitu tatkala sikap bermusuhan semacam
itu ditunjukkan oleh golongan non – priyayi yang menakut – nakuti anak
perempuannya yang tidak taat kepada orang tua untuk dikawinkan dengan
“priyayi”.[7]
Penulisan historiografi pada abad ke 20 mempunyai peran sangat penting. Dalam
hal ini sebuah peristiwa sejarah yang sangat erat dan tidak bisa terlepas yaitu
sejarah pemberontakan petani Banten. Sebuah karya sejarah yang dituliskan oleh
Sejarawan Indonesia dengan kemampuan yang luar biasa mampu menggunakan beberapa
pendekatan dalam menuliskan sejarah Banten.
Pembahasan tahun 1888 di daerah Banten ialah bagian
terbesar dari pemberontakan petani, hal itu bersifat lokal dan tidak mempunyai
hubungan satu sama lain. Petani-petani itu tidak tahu untuk apa mereka berontak
secara samar-samar mereka ingin menggulingkan pemerintah, akan tetapi mereka
tidak menyadari bahwa mereka sedang mengambil bagian di dalam suatu gerakan
sosial yang revolusioner.
Arti penting jenis pemberontakan ini tidak
pertama-tama karena dampaknya terhadap perkembangan politik, melainkan terletak
dalam fakta bahwa kejadiannya yang endemik selama abad XIX dapat dipandang
sebagai suatu manifestasi dari alur perkembangan politik. Di dalam rangka
kontak antara kebudayaan Barat dan kebudayaan Indonesia,
pemberontakan-pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan-gerakan
protes terhadap masuknya perekonomian barat yang tidak diinginkan dan terhadap
pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.
Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upahan dan ditegakannya
administrasi pusat , maka terjadilah keruntuhan keseluruhan struktur ekonomi
dan politik yang tradisional.
Istilah “Pemberontakan petani” (Peasant Revolth) istilah
itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata,
sepanjang sejarah pemberontakan petani pemimpin-pemimpinnya jarang sekali
petani biasa, mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang
lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama,
anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang yang termasuk golongan desa yang
terhormat (golongan elit pedesaan).
Dalam
buku karya beliau “Pemberontakan Petani Banten” disinggung pendekatan yang digunakan
oleh penulis. Menurutnya pendekatan bisa dilakukan melalui berbagai jalur
metodologi atau perspektif teoretis dan yang terpenting adalah jalan satu
perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Disamping
itu perlu dikemukakan bahwa situasi yang kompleks itu juga dapat ditinjau dari
segi insiden-insiden dan urutan-urutan insiden yang menentukan hubungan
sebab-akibat diantara faktor-faktor variable, apakah itu ekonomis, sosial,
politik atau keagamaan.
Dalam
hubungan ini pendekatan, pendekatan lain dapat ditambahkan kepada pendekatan
historis, disiplin-disiplin lain seperti sosiologi, antropologi sosial, dan
ilmu politik berada pada kedudukan yang lebih baik untuk menganalisa gerakan-gerakan
sosial.
[8]
Satu-satunya pokok persoalan yang jelas-jelas memperlihatkan saling
ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan sosiologi adalah gerakan
sosial. Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan-kecenderungan
sosial dan peristiwa-peristiwa politik disatu pihak dan pola-pola kultural dipihak
lain melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis.
Didalam
studi ini digunakan pendekatan faktor sebagai pelengkap analisa proses yang
membedakan tahap-tahap perkembangan menurut urutannya. Metodologi ini
didasarkan atas prinsip tentang perlunya memandang suatu gerakan sosial seperti
gerakan dari perspektif waktu dan perkembangan, sebelum diadakan perbandingan
sistematik atau analisa teoretis, analisa terakhir bertujuan untuk menyoroti
konfigurasi-konfigurasi dan memperbesar dimensi-dimensi gerakan. Dalam sejarah pemberontakan
ini, didapat rangkuman masalah sebagai berikut :
1. Penulis
mencoba menunjukkan hubungan antara orientasi ideologis gerakan itu dan golongan-golongan
sosial dari mana gerakan itu memperoleh anggota-anggotanya. Perpecahan sosial
yang tajam dalam masyarakat Banten dapat dijelaskan dari segi posisi sosio-ekonomis
golongan-golongan yang saling bertentangan. Dampak kebudayaan barat telah mempertajam
konflik sosial itu.
2. Korelasi
antara penetrasi sistem ekonomi barat dan ketidakstabilan situasi sosial yang
cenderung untuk meletus dan menyebabkan terjadinya pemberontakan.
3. Dampak
umum kekuasaan formal Belanda terhadap sistem politik di Banten.
Dalam
studi mengenai konflik sosial sebagai salah satu aspek utama gerakan sosial,
kita harus memberikan perhatian kepada peranan menentukan yang dimainkan oleh elit
agama, karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan, seperti juga kaum petani,
dan menentang modernisasi serta berusaha mencegah perubahan sosial di Banten.
Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai-nilai tradisional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan
historiografi Indonesia dengan beberapa tokoh terkemuka di Nasional salah
satunya ialah Sartono Kartodirdjo menempati posisi yang tidak dapat
dikesampingkan. Perjalanan kehidupannya serta pengalaman dalam pendidikannya
mampu membuat Sartono Kartodirdjo menjadi tokoh Nasional Sejarah. Bidang
historiografi modern Indonesia menjadi salah satu usaha beliau menjadikan
historiografi Indonesia menjauhi Netherlandsentris untuk memfokuskan pada
Indonesiasentris. Peristiwa sejarah dengan mengangkat petani sebagai pelaku
sejarah mampu dituliskan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya dengan penjelasan latar
belakang munculnya pemberontakan, serta penyajiannya dalam kronologi yang
dilakukan para petani. Kolonialisme Belanda menjadi musuh para petani dalam kasus
pemberontakan di Banten. Akan tetapi Sartono memandang bahwa suatu gerakan
keagamaan yang erat dengan gerakan sosial mempunyai hubungan yang khusus dengan
kelas – kelas sosial, dengan kondisi – kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku
bagi mereka. Kemampuan beliau dalam melakukan penulisan sejarah menjadikan ia
sebagai tokoh historiografi dengan multidimensi dalam pendekatan yang ia
lakukan. Tidak hanya pendekatan historis saja melainkan pendekatan Sosiologi,
Antropologi, Agama, dan lain sebagainya mampu dilakukan.
Daftar Pustaka
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 8, 1990, Jakarta : PT Cipta Adi Pustaka
Dalam http://profil.merdeka.com/indonesia/s/sartono-kartodirdjo/.
Di akses 29 November 2013, pukul 08:54 WIB.
Dalam http://historiawildan.blogspot.com/.
Di akses 29 November 2013, pukul 09.05 WIB
Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia.
Sartono
Kartodirdjo, 1994, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah,Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta
: Pustaka Jaya.