(Aspek Ibadah dan Muamalah)
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah
Pemikiran Islam 1
Dosen
Pengampu: Prof. DR. H. Dudung Abdurrahman
Disusun oleh:
Ilman Adni Alparisi (11120015)
Muhamadi (11120093)
Ciliatus Safitri (11120136)
Kelas: SKI A
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran
Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal
mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik
materinya maupun esensinya, maka dapat diungkapkan hubungan sebab akibat dari
sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya, serta substansi dari
wujud/eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.[1]
Selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun,
berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan
sunah Nabi, maka pemikiran tersebuat
dapat disebut pemikiran Islam.[2] Jadi
pemikiran Islam meliputi berbagai aspek kehidupan.
Dari
aspek-aspek yang dikaji dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah aspek
ibadah dan muamalah. Aspek ibadah dalam Islam menjadi suatu hal yang penting,
ia sebagai sarana interaksi antara hamba dengan sang pencipta (Hablumminallah),
meskipun pada praktiknya hanya berupa gerakan-gerakan atau perbuatan dengan
manusia lainnya, namun ada sentuhan nilai Tuhan didalamnya, baik ibadah itu
berupa kewajiban ataupun sunnah. Aspek ini merupakan pendidikan jasmani yang
bertujuan sebagai pengembangan daya-daya rohaniseseorang. Sedangkan aspek
muamalah merupakan aspek pemikiran Islam yang berorientasi pada interaksi
sesama manusia (Hablumminannas). Baik
interaksi itu berupa jual beli, tukar-menukar barang, penggadaian, masalah riba
dan lain-lain.Meskipun kedua aspek tersebut masih dalam batas-batas koridor
yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi.
BAB II
PEBAHASAN
A.
Aspek Ibadah
Dalam islam ibadahlah yang memberikan
latihan rohani yang diperlukan manusia.Semua ibadah yang ada dalam islam
Shalat, Puasa, Haji dan Zakat bertujuan membuat roh manusia supaya senantiasa
dekat kepada Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci dapat mempertajam rasa kesucian
seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk
tidak melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam
memenuhi keinginannya.[3]
Seperti firman Allah SWT Surat
Al-Zazirat yang Artinya : dan tidak Kuciptakan jin dan manusia Melainkan beribadah
kepada Allah SWT.
Ibadah ialah perhambaan diri dalam
arti dan hakikatnya. Segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia dalam mentaati
Tuhanya adalah Ibadah.[4]
Aspek ibadah terangkum dalam rukun islam diantarnya : Shalat, shalat pada hakikatnya
tidak lain melainkan bahwa kitadisuruh oleh Allah untuk senantiasa mengingat
dan mengimani diucapkan dengan lidah dan dilakukan dalam perbuatan.
Diantara ibadah islam, shalatlah
yang membawa manusia terdekat kepada Tuhan. Karena didalamnya terdapat dialog
antara manusia dengan Tuhan dan dialog ini berlaku antara dua fihak yang saling
berhadapan.[5]
Shalat ini dilaksanakan lima kali
dalam sehari. Misalnya ketika kita mengerjakan shalat subuh, kita berdiri
dihadapan Allah SWT dalam keadaan yang suci, sebelum kita melakukan segala
aktifitas lainya. Kemudian kita mengikrarkan perhambaan kita dihadapanNYA
dengan berdiri, duduk, ruku’ dan sujud, untuk meminta pertolongan, memohonkan
petunjuk dan memperbaharui janji ta’at kita kepada Allah SWT.
Kemudian rukun yang kedua Puasa,
puasa yaitu menahan diri dari rasa lapar dan haus dari terbit fajar hingga
terbenamnya matahari, serta menahan diri dari hawa nafsu. Dengan berpuasa tentu
saja kita dibimbing oleh Allah secara tidak langsung untuk berbuat kebaikan.
Seumpamanya ketika kita berpuasa tetapi masih membicarakan teman kita atau
masih mengunjing orang lain tentu saja ibadah puasa kita sia-sia dan tidak
mendapatkan pahala seperti apa yang telah dijanjikan Allah kepada setiap hamba
yang melakukan ibadah puasa.
Ibadah puasa merupakan ibadah
universal, karena ibadah ini terdapat hampir diseluruh agama, baik dalam agama
samawi ataupun agama ardhi (agama budaya). Oleh karena itu ibadah puasa ini
telah dikenal oleh umat-umat agama terdahulu dan juga telah dikenal dikalangan
orang-orang agama budaya dahulu kala.[6]
Sepeti yang di Firmankan oleh Allah dalam Surat Al Baqarah 183: yang artinya
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bepuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
Aspek ibadah yang ketiga yaitu
Zakat, zakat yaitu pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta
tertentu, menurut sifat-sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang
berhak menerimanya.[7]
Seperti yang difirmankan Allah dalam Surat Al Baqarah 110:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا
لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan
apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala Nya
pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Allah telah mewajibkan atas
tiap-tiap individu dari masyarakat Islam apabila hartanya telah berlebih dari
nishab dan cukup berada ditanganya setahun penuh, untuk mengeluarkan zakatnya
kepada salah seorang dari golongan fakir, miskin atau musafir yang memerlukan
pertolongan atau orang yang baru masuk islam (muallaf).
Aspek
ibadah yang selanjutnya yaitu ibadah Haji, haji yaitu ibadah yang dilakukan di
kota Mekkah, dan melaksanakan berbagai rangkaian ibadah seperti thawaf, sa’iy,
dan wuquf di arafah serta melaksanakan semua ketentuan-ketentuan haji
lainya, karena hendak memenuhi perintah
Allah dan mengharapkan keridhaaNya.
Rukun haji kalau dinegara kita
tidak begitu diwajibkan bagi orang yang tidak mampu, karena pergi naik haji ke
Mekkah membutuhkan dana yang begitu banyak. Tetapi bagi mereka yang mampu dan
mempunyai harta lebih iba dah ini menjadi wajib.
B. Aspek
Muamalah
Seperti telah dilihat, Islam mulai dari Madinah
merupakan Negara dan sebagai Negara tentunya harus mempunyai lembaga hukum,
untuk mengatur hidup kemasyarakatan warganya. Hukum yang dipakai dalam Islam
berdasar pada wahyu dan kalau diperhatikan sejarah turunnya wahyu, akan
kelihatan bahwa ayat-ayat yang mengandung soal-soal hidup kemasyarakatan memang
di Madinahlah mulai diturunkan. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik
mengenai ibadah, maupun mengenai hidup kemasyarakatan, disebut ayat ahkam.
Ayat-ayat ahkam dalam bentuk kedua inilah yang menjadi dasar bagi hukum yang
dipakai untuk mengatur masyarakat dalam Islam.[8]
Salah satu dari hukum Islam tersebut adalah
muamalah, yakni bagian dari hukum Islam yang membahas mengenai hubungan antara
sesama manusia.[9]
Hukum Muamalah atau fiqh Muamalah yang meliputi, tata cara melakukan akad,
transaksi, hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan
antar manusia atau dengan masyarakat luas. Dibawah ini akan diberikan beberapa
contoh mengenai pemikiran Islam aspek muamalah, diantaranya:
1.
Jual-beli
Apabila seseorang menukar sesuatu barang dengan barang yang lain
dengan cara tertentu (akad) inilah yang disebut “jual beli”.[10]
Secara istilah, menurut madhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta
atau mal dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan
harta disini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat
kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah
sighat atau umhkapan ijab dan qabul.[11]
Dalam hal ini terdapat beberapa dalil naqly mengenai jual beli, sebagai
berikut:
a.
Firman Allah
SWT di dalam Surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu yang artinya, “Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
b.
Firman Allah
SWT di dalam Surat An-Nisa ayat 29, yang artinya, “janganblah kamu memakan
harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual
beli suka sama suka.
c.
Sabda Nabi
Rasullahlah SAW, yang artinya, “Rifah bin Rafi menceritakan, bahwa Nabi SAW
pernah ditanya orang. Apakah usaha yang paling baik?” jawab Beliau: ”Usaha
seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang halal.”[12]
Menurut madzhab
Hanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual beli hanyalah sighat, yakni
pernyataan ijab dan qabul yang merefleksikan keinginan masing-masing pihak
untuk melakukan transaksi. Berbeda dengan mayoritas ulama atau jumhur, rukun
yang terdapat dalam akad jual-beli terdiri dari akid (penjual dan pembeli),
ma’qud alaih (harta dan objek), serta sighat (ijab qabul). [13]
Dalam akad jual
beli harus disempurnakan 4 macam syarat yakni, syarat in’iqad, syarat sah,
ayarat nafadz, dan syarat luzun. Tujuan adanya syarat-syarat ini adalah untuk
mencegah terjadinya pertentangan dan perselisihan diantara pihak yang
bertransaksi, menjaga hak dan kemaslahatan kedua pihak, serta menghilangkan
segala bentuk ketidakpastian dan resiko.[14]
2.
Riba
Makna Riba menurut bahasa ialah bertambah/lebih. Sedangkan menurut
Istilah Syara adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara, atau terlambat menerimanya.
Pengertian lain tentang Riba ditegaskan oleh H. Moh. Anwar yaitu arti Riba
menurut logat ialah lebih atau tambah. Arti Riba menurut istilah fiqh, ialah
kelebihan yang tidak disertai penggantian barang dan yang disyaratkan bagi
salah seorang dari kedua pihak yang berakad.[15]
Al-Qur’an
telah mengharamkan Riba dalam empat ayat yang berbeda, dimana ayat yang pertama
(30;39) diturunkan di Mekkah dan tiga ayat lainnya diturunkan di Madinah
(4:161, 3:130-2, dan 2:275-81).[16]
Pada tahap pertama, Al-Qur’an menolak anggapan bahwa Riba yang pada dzahirnya
seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan untuk
mendekatkan diri atau bertaqarub kepada Allah. Tahap kedua, Riba digambarkan
sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberikan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan Riba. Tahap ketiga, Riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat bahwa pengmbilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Tahap terakhir, Allah
dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman.[17]
Dari kedua
contoh yang dibahas dalam kategori aspek muamalah tersebut, terlihat pemikiran
Islam yang berkoridor atas cakupan Al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran Islam
tersebut berlaku pula dalam permasalahn-permasalahn lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
kedua aspek pemikiran Islam tersebut (aspek ibadah dan muamalah) dapat kita
lihat bahwa pemikiran Islam terbagi kedalam dua unsur yakni unsur endoteris dan
unsur eksoteris. Unsur endoteris meliputi aspek-aspek ibadah yang bertujuan
untuk ketenangan jiwa dan lebih kepada nilai-nilai rohaniah, berbeda dengan
aspek muamalah yang mengandung unsur eksoteris ia lebih bertujuan untuk
pembinanan moral dan akhlak dalam bermasyarakat. Kedua unsur tesebut mestilah
seimbang keberadaanya dalam diri manusia, yakni unsur jasmani dan rohani yang
sehat, inilah kebutuhan manusia yang memang harus terisi dan seimbang adanya. Kedua
aspek yang menjadi ranah pemikiran Islam ini memang bertujuan untuk itu, yakni
menjadikan manusia hidup lebih baik.
Daftar Pustaka
Dimyaudin Djuwaini. Pengantar
Fiqh Muamala. Yogyakarta: Mustaka Pelajar, 2008.
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . Jakarta:
UI Press, 1985.
Imyaudin
Djuwaini. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.
Murni Djamal. Ilmu
Fiqih Jilid I . Jakarta: IAIN Jakarta, 1983.
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
[1] M. Abdul
Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta, Pustaka Book
Publisher, 2007)., hlm 39.
[2] Ibid.,
[3] Harun
Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . (Jakarta, UI Press,
1985)., hlm 37
[4] Terj
Abdullah Suhaili. Prinsip-Prinsip Islam . (Bandung, Pt Al-Ma’arif, 1991).,
hlm 105
[5] Harun
Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . (Jakarta, UI Press,
1985)., hlm 37.
[6] Murni
Djamal. Ilmu Fiqih Jilid I . (Jakarta, IAIN Jakarta, 1983 )., hlm 277
[7] Ibid.,
hlm 229
[8] Harun
Nasution. Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya. (Jakarta, Bulan Bintang, 1974)., hlm 7.
[9]
Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh
Muamala. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)., hlm xv.
[10]
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta,
Rineka Cipta, 1992)., hlm 390.
[11]
Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh
Muamala. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)., hlm 69
[12]
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta,
Rineka Cipta, 1992), diambil terjemahnya saja., hlm 390-391.
[13]
Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh
Muamala. (Yogyakarta, Mustaka Pelajar, 2008)., hlm 73.
[14] Ibid.,
hlm 74.
[15]
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta,
Rineka Cipta, 1992), diambil terjemahnya saja., hlm 436.
[16]
Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqih Muamalah.
(Yogyakarta, Mustaka Pelajar, 2008)., hlm 189.
[17] Ibid.,
hlm 189-190.