Search This Blog

Sunday, October 7, 2012

Aspek-Aspek Pemikiran Islam (Aspek Ibadah dan Muamalah)




Aspek-Aspek Pemikiran Islam

(Aspek Ibadah dan Muamalah)
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Pemikiran Islam 1
Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Dudung Abdurrahman
 

Disusun oleh:

Ilman Adni Alparisi               (11120015)
Muhamadi                              (11120093)
Ciliatus Safitri                        (11120136)

Kelas: SKI A


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012






BAB I
PENDAHULUAN

Pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik materinya maupun esensinya, maka dapat diungkapkan hubungan sebab akibat dari sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya, serta substansi dari wujud/eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.[1] Selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun, berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan sunah Nabi, maka pemikiran  tersebuat dapat disebut pemikiran Islam.[2] Jadi pemikiran Islam meliputi berbagai aspek kehidupan.
Dari aspek-aspek yang dikaji dalam pemikiran Islam, salah satunya adalah aspek ibadah dan muamalah. Aspek ibadah dalam Islam menjadi suatu hal yang penting, ia sebagai sarana interaksi antara hamba dengan sang pencipta (Hablumminallah), meskipun pada praktiknya hanya berupa gerakan-gerakan atau perbuatan dengan manusia lainnya, namun ada sentuhan nilai Tuhan didalamnya, baik ibadah itu berupa kewajiban ataupun sunnah. Aspek ini merupakan pendidikan jasmani yang bertujuan sebagai pengembangan daya-daya rohaniseseorang. Sedangkan aspek muamalah merupakan aspek pemikiran Islam yang berorientasi pada interaksi sesama manusia (Hablumminannas).  Baik interaksi itu berupa jual beli, tukar-menukar barang, penggadaian, masalah riba dan lain-lain.Meskipun kedua aspek tersebut masih dalam batas-batas koridor yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi.

BAB II
PEBAHASAN

A.    Aspek Ibadah
Dalam islam ibadahlah yang memberikan latihan rohani yang diperlukan manusia.Semua ibadah yang ada dalam islam Shalat, Puasa, Haji dan Zakat bertujuan membuat roh manusia supaya senantiasa dekat kepada Tuhan sebagai Zat Yang Maha Suci dapat mempertajam rasa kesucian seseorang. Rasa kesucian yang kuat akan dapat menjadi rem bagi hawa nafsu untuk tidak melanggar nilai-nilai moral, peraturan dan hukum yang berlaku dalam memenuhi keinginannya.[3]
Seperti firman Allah SWT Surat Al-Zazirat  yang Artinya : dan tidak Kuciptakan jin dan manusia Melainkan beribadah kepada Allah SWT.

Ibadah ialah perhambaan diri dalam arti dan hakikatnya. Segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia dalam mentaati Tuhanya adalah Ibadah.[4] Aspek ibadah terangkum dalam rukun islam diantarnya : Shalat, shalat pada hakikatnya tidak lain melainkan bahwa kitadisuruh oleh Allah untuk senantiasa mengingat dan mengimani diucapkan dengan lidah dan dilakukan dalam perbuatan.
Diantara ibadah islam, shalatlah yang membawa manusia terdekat kepada Tuhan. Karena didalamnya terdapat dialog antara manusia dengan Tuhan dan dialog ini berlaku antara dua fihak yang saling berhadapan.[5]
Shalat ini dilaksanakan lima kali dalam sehari. Misalnya ketika kita mengerjakan shalat subuh, kita berdiri dihadapan Allah SWT dalam keadaan yang suci, sebelum kita melakukan segala aktifitas lainya. Kemudian kita mengikrarkan perhambaan kita dihadapanNYA dengan berdiri, duduk, ruku’ dan sujud, untuk meminta pertolongan, memohonkan petunjuk dan memperbaharui janji ta’at kita kepada Allah SWT.
Kemudian rukun yang kedua Puasa, puasa yaitu menahan diri dari rasa lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, serta menahan diri dari hawa nafsu. Dengan berpuasa tentu saja kita dibimbing oleh Allah secara tidak langsung untuk berbuat kebaikan. Seumpamanya ketika kita berpuasa tetapi masih membicarakan teman kita atau masih mengunjing orang lain tentu saja ibadah puasa kita sia-sia dan tidak mendapatkan pahala seperti apa yang telah dijanjikan Allah kepada setiap hamba yang melakukan ibadah puasa.
Ibadah puasa merupakan ibadah universal, karena ibadah ini terdapat hampir diseluruh agama, baik dalam agama samawi ataupun agama ardhi (agama budaya). Oleh karena itu ibadah puasa ini telah dikenal oleh umat-umat agama terdahulu dan juga telah dikenal dikalangan orang-orang agama budaya dahulu kala.[6] Sepeti yang di Firmankan oleh Allah dalam Surat Al Baqarah 183: yang artinya “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bepuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.
Aspek ibadah yang ketiga yaitu Zakat, zakat yaitu pemberian sesuatu yang wajib diberikan dari sekumpulan harta tertentu, menurut sifat-sifat dan ukuran tertentu kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya.[7] Seperti yang difirmankan Allah dalam Surat Al Baqarah 110:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala Nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
                        Allah telah mewajibkan atas tiap-tiap individu dari masyarakat Islam apabila hartanya telah berlebih dari nishab dan cukup berada ditanganya setahun penuh, untuk mengeluarkan zakatnya kepada salah seorang dari golongan fakir, miskin atau musafir yang memerlukan pertolongan atau orang yang baru masuk islam (muallaf).
                        Aspek ibadah yang selanjutnya yaitu ibadah Haji, haji yaitu ibadah yang dilakukan di kota Mekkah, dan melaksanakan berbagai rangkaian ibadah seperti thawaf, sa’iy, dan wuquf di arafah serta melaksanakan semua ketentuan-ketentuan haji lainya,  karena hendak memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaaNya.
Rukun haji kalau dinegara kita tidak begitu diwajibkan bagi orang yang tidak mampu, karena pergi naik haji ke Mekkah membutuhkan dana yang begitu banyak. Tetapi bagi mereka yang mampu dan mempunyai harta lebih iba dah ini menjadi wajib.

B.     Aspek Muamalah
Seperti telah dilihat, Islam mulai dari Madinah merupakan Negara dan sebagai Negara tentunya harus mempunyai lembaga hukum, untuk mengatur hidup kemasyarakatan warganya. Hukum yang dipakai dalam Islam berdasar pada wahyu dan kalau diperhatikan sejarah turunnya wahyu, akan kelihatan bahwa ayat-ayat yang mengandung soal-soal hidup kemasyarakatan memang di Madinahlah mulai diturunkan. Ayat-ayat yang mengandung dasar hukum, baik mengenai ibadah, maupun mengenai hidup kemasyarakatan, disebut ayat ahkam. Ayat-ayat ahkam dalam bentuk kedua inilah yang menjadi dasar bagi hukum yang dipakai untuk mengatur masyarakat dalam Islam.[8]
Salah satu dari hukum Islam tersebut adalah muamalah, yakni bagian dari hukum Islam yang membahas mengenai hubungan antara sesama manusia.[9] Hukum Muamalah atau fiqh Muamalah yang meliputi, tata cara melakukan akad, transaksi, hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan antar manusia atau dengan masyarakat luas. Dibawah ini akan diberikan beberapa contoh mengenai pemikiran Islam aspek muamalah, diantaranya:
1.      Jual-beli
Apabila seseorang menukar sesuatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad) inilah yang disebut “jual beli”.[10] Secara istilah, menurut madhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta atau mal dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta disini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau umhkapan ijab dan qabul.[11] Dalam hal ini terdapat beberapa dalil naqly mengenai jual beli, sebagai berikut:
a.       Firman Allah SWT di dalam Surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu yang artinya, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
b.      Firman Allah SWT di dalam Surat An-Nisa ayat 29, yang artinya, “janganblah kamu memakan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka.
c.       Sabda Nabi Rasullahlah SAW, yang artinya, “Rifah bin Rafi menceritakan, bahwa Nabi SAW pernah ditanya orang. Apakah usaha yang paling baik?” jawab Beliau: ”Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang halal.”[12]
Menurut madzhab Hanafiyah, rukun yang terdapat dalam jual beli hanyalah sighat, yakni pernyataan ijab dan qabul yang merefleksikan keinginan masing-masing pihak untuk melakukan transaksi. Berbeda dengan mayoritas ulama atau jumhur, rukun yang terdapat dalam akad jual-beli terdiri dari akid (penjual dan pembeli), ma’qud alaih (harta dan objek), serta sighat (ijab qabul).  [13]
Dalam akad jual beli harus disempurnakan 4 macam syarat yakni, syarat in’iqad, syarat sah, ayarat nafadz, dan syarat luzun. Tujuan adanya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya pertentangan dan perselisihan diantara pihak yang bertransaksi, menjaga hak dan kemaslahatan kedua pihak, serta menghilangkan segala bentuk ketidakpastian dan resiko.[14]
2.      Riba
Makna Riba menurut bahasa ialah bertambah/lebih. Sedangkan menurut Istilah Syara adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara, atau terlambat menerimanya. Pengertian lain tentang Riba ditegaskan oleh H. Moh. Anwar yaitu arti Riba menurut logat ialah lebih atau tambah. Arti Riba menurut istilah fiqh, ialah kelebihan yang tidak disertai penggantian barang dan yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua pihak yang berakad.[15]
Al-Qur’an telah mengharamkan Riba dalam empat ayat yang berbeda, dimana ayat yang pertama (30;39) diturunkan di Mekkah dan tiga ayat lainnya diturunkan di Madinah (4:161, 3:130-2, dan 2:275-81).[16] Pada tahap pertama, Al-Qur’an menolak anggapan bahwa Riba yang pada dzahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan untuk mendekatkan diri atau bertaqarub kepada Allah. Tahap kedua, Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan Riba. Tahap ketiga, Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengmbilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.[17]
Dari kedua contoh yang dibahas dalam kategori aspek muamalah tersebut, terlihat pemikiran Islam yang berkoridor atas cakupan Al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran Islam tersebut berlaku pula dalam permasalahn-permasalahn lainnya.


                       





BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

            Dari kedua aspek pemikiran Islam tersebut (aspek ibadah dan muamalah) dapat kita lihat bahwa pemikiran Islam terbagi kedalam dua unsur yakni unsur endoteris dan unsur eksoteris. Unsur endoteris meliputi aspek-aspek ibadah yang bertujuan untuk ketenangan jiwa dan lebih kepada nilai-nilai rohaniah, berbeda dengan aspek muamalah yang mengandung unsur eksoteris ia lebih bertujuan untuk pembinanan moral dan akhlak dalam bermasyarakat. Kedua unsur tesebut mestilah seimbang keberadaanya dalam diri manusia, yakni unsur jasmani dan rohani yang sehat, inilah kebutuhan manusia yang memang harus terisi dan seimbang adanya. Kedua aspek yang menjadi ranah pemikiran Islam ini memang bertujuan untuk itu, yakni menjadikan manusia hidup lebih baik.
           















Daftar Pustaka



Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamala. Yogyakarta: Mustaka Pelajar, 2008.
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . Jakarta: UI Press, 1985.
Imyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Murni Djamal. Ilmu Fiqih Jilid I . Jakarta: IAIN Jakarta, 1983.
Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Terj Abdullah Suhaili. Prinsip-Prinsip Islam . Bandung: Pt Al-Ma’arif, 1991.


[1] M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007)., hlm 39.
[2] Ibid.,
[3] Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . (Jakarta, UI Press, 1985)., hlm 37
[4] Terj Abdullah Suhaili. Prinsip-Prinsip Islam . (Bandung, Pt Al-Ma’arif, 1991)., hlm 105
[5] Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya . (Jakarta, UI Press, 1985)., hlm 37.
[6] Murni Djamal. Ilmu Fiqih Jilid I . (Jakarta, IAIN Jakarta, 1983 )., hlm 277
[7] Ibid., hlm 229
[8] Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. (Jakarta, Bulan Bintang, 1974)., hlm 7.
[9] Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamala. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)., hlm xv.
[10] Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta, Rineka Cipta, 1992)., hlm 390.
[11] Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamala. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008)., hlm 69
[12] Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), diambil terjemahnya saja., hlm 390-391.
[13] Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamala. (Yogyakarta, Mustaka Pelajar, 2008)., hlm 73.
[14] Ibid., hlm 74.
[15] Sudarsono. Pokok-Pokok Hukum Islam. (Jakarta, Rineka Cipta, 1992), diambil terjemahnya saja., hlm 436.
[16] Dimyaudin Djuwaini. Pengantar Fiqih Muamalah. (Yogyakarta, Mustaka Pelajar, 2008)., hlm 189.
[17] Ibid., hlm 189-190.